Belajar dari Kasus Kekerasan Seksual di Kampus UIN Alauddin Makassar

Mahasiswi menjadi korban kekerasan seksual oknum dosen dan mahasiswa.

Muhammad Yunus
Sabtu, 18 Desember 2021 | 09:32 WIB
Belajar dari Kasus Kekerasan Seksual di Kampus UIN Alauddin Makassar
Mahasiswa UIN Alauddin Makassar masuk dalam kampus menggunakan sepeda motor [SuaraSulsel.id/Muhammad Aidil]

Menurut Budhy, Permendibud Nomor 30 tahun 2021 tentang PPKS yang diteken langsung oleh Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim tersebut tentu dibuat dengan dasar-dasar pertimbangan. Aturan itu, kata dia, tidak mungkin serta merta dikeluarkan jika kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi hanya satu kasus saja.

Dalam aturan itu, lanjut Budhy, sudah ada regulasi yang tertuang di dalamnya. Seperti pada Pasal 1 ayat 14 tentang pembentukan Satuan Tugas (Satgas) yang dapat meminimalkan kejadian pelecehan di kampus.

Terlebih lagi, dalam aturan itu juga sudah ada sanksi-sanksi yang akan diberikan kepada para pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual. Serta ada perlindungan kepada korban.

"Saya kira ketika aturan ini diterapkan, tentu saja orang yang ingin melakukan pelecehan atau kekerasan seksual itu akan berpikir dua kali untuk melakukan. Karena sudah melibatkan institusi hukum di luar dan sebagainya. Jadi bisa dipidanakan, saya kira terlindungilah perempuan-perempuan di sana. Karena yang paling rentan itu perempuan yang jadi korban," terang Budhy.

Baca Juga:Tak Masuk Paripurna, Ketua Panja RUU TPKS: Kami akan Berjuang Terus

Bukan cuma itu, kata dia, pada Pasal 3 juga sudah terdapat Prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Mulai dari kepentingan terbaik dari korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten hingga jaminan ketidakberulangan.

"Di Pasal 3 itu ada semacam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual," ujar dia.

Sedangkan pada bagian BAB 3 Pasal 10, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif dan pemulihan korban.

Sementara pada Pasal 11 ayat 1, kata Budhy, juga diterangkan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan dan warga kampus.

Kemudian pada ayat 2, pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi dan atau bimbingan sosial dan rohani.

Baca Juga:Tersangka Kasus Pencabulan, Praperadilan Putra Kiai di Jombang Ditolak

"Bab 3 dijelaskan juga ada tata kelolahnya, pembentukan satuan tugas. Yang jadi masalah mahasiswa yang suka bikin acara malam, pasti dilarang sampai menginap. Kemudian ada sosialisasi ke mahasiswa," kata dia.

"Pasal 11, pendampingan konseling dan kesehatan, bantuan hukum dan advokasi, bimbingan sosial atau rohani. Ada perlindungan, konsep administratif, ada terapi fisik, medis, psikologis, dokter. Jadi misalnya ada yang pendarahan setelah diperkosa dan sebagainya sudah ada timnya, atau satgasnya yang bisa menangani itu. Saya kira sudah lengkap ini," sambung Budhy.

Yang jadi persoalan, kata Budhy, adalah ketika pimpinan kampus telah membentuk tim untuk mencegah dan menangani terjadinya kasus kekerasan seksual, namun program kerjanya tidak dijalankan sesuai dengan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi.

Situasi ini memang masih terjadi di UIN Alauddin Makassar, sejumlah mahasiswa yang ditemui di sejumlah fakultas kampus itu masih banyak yang tidak tahu apa yang dimaksud dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA).

Padahal, PSGA yang berada pada lantai dua di gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) sebenarnya sudah lama dibentuk pihak kampus. Salah satu tujuannya adalah untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus secara internal.

Karena itu, untuk mengantisipasi masalah tersebut, memang perlu niat baik dari pimpinan UIN Alauddin Makassar. Untuk melaksanakan program kerja agar aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang PPKS tersebut tidak hanya sekedar menjadi wacana saja.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini