Bukan Abu Janda dan Natalius Pigai, Konflik di Indonesia Karena 3 Hal Ini

Perdamaian adalah situasi tidak ada konflik. Sebaliknya konflik adalah situasi tidak ada perdamaian.

Muhammad Yunus
Minggu, 31 Januari 2021 | 07:05 WIB
Bukan Abu Janda dan Natalius Pigai, Konflik di Indonesia Karena 3 Hal Ini
Kolase Natalius Pigai dan Abu Janda

SuaraSulsel.id - Perseteruan antara Abu Janda dengan Riezieq Shihab membuat tidak harmonis hubungan banyak orang. Terbaru, kasus Abu Janda dengan Natalius Pigai di media sosial, juga telah merusak hubungan banyak kelompok di media sosial.

Setiap orang punya pengikut dan simpatisan. Jika ada pihak yang disinggung, banyak orang yang ikut merasakan sakit. Bereaksi dengan berbagai macam cara. Polisi pun harus turun tangan.

Menurut Jusuf Kalla, perdamaian adalah situasi tidak ada konflik. Sebaliknya konflik adalah situasi tidak ada perdamaian.

Ketua PMI Jusuf Kalla (JK) membagikan pengalamannya dalam menyelesaikan konflik di berbagai daerah. Sampai ke luar negeri.

Baca Juga:Wakil Ketua MUI: Terkesan Abu Janda adalah Orang yang Dipelihara Pemerintah

Hal ini diungkapkan saat JK menjadi pembicara seminar virtual di Universitas Hasanuddin, Sabtu 30 Januari 2021.

JK menguraikan bagaimana konstruksi konflik di Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga kini.

“Perdamaian adalah situasi tidak ada konflik, sebaliknya konflik adalah situasi tidak ada perdamaian. Sementara, demokrasi adalah cara kita bernegara dan bermasyarakat, dengan tujuan menciptakan situasi damai dan mengatasi konflik. Jadi ketiga konsep ini adalah satu kesatuan,” kata Jusuf Kalla, Sabtu 30 Januari 2021.

Dari pengalaman mengatasi berbagai konflik, Jusuf Kalla menilai penyebab utama konflik disebabkan oleh tiga hal. Yaitu ketidakpuasan, ketidakseimbangan, dan ketidakharmonisan.

Maka perlu ada lembaga yang selalu mengkaji. Sehingga potensi terjadinya konflik yang berpotensi merusak tatanan sosial dapat diidentifikasi sejak dini.

Baca Juga:Abu Janda Dipanggil Polisi Terkait Kasus Perkataan Islam Arogan

“Kita harus mengetahui karakter pihak yang berkonflik, mengetahui apa kebutuhan dan aspirasi mereka. Itu cara yang sering saya pakai, sebelum mediasi, saya selalu pelajari karakter dan latar belakang para pihak,” kata JK.

Jusuf Kalla berdialog dengan Pemerintah Afghanistan terkait konflik di negara tersebut, Rabu 23 Desember 2020 / [Foto: Tim Media JK]
Jusuf Kalla berdialog dengan Pemerintah Afghanistan terkait konflik di negara tersebut, Rabu 23 Desember 2020 / [Foto: Tim Media JK]

Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengatakan, segala kebijakan pemerintah harus membawa manfaat bagi masyarakat. Sehingga harus ada riset dan landasan ilmiah yang mendukung agar kebijakan dapat terukur.

Pengalaman sebagai bangsa sudah cukup dengan berbagai konflik yang telah memberikan pelajaran penting. Pendekatan kekerasan selalu melahirkan kekerasan lanjutan.

Konflik juga jangan sekali-kali direspons dengan lambat atau salah dalam mengambil keputusan.

"Kami di Sulsel menjadikan dialog sebagai tradisi dijalin dalam bentuk komunikasi, formal dan informal, bagi seluruh pemangku kepentingan. Mencari tahu akar konflik adalah kunci utama menyelesaikan konflik," kata Nurdin.

dr. Farid Husain menuturkan, konflik hadir karena adanya perasaan ketidakadilan dan rasa kecewa dalam berbagai bidang.

Perasaan ini akan hilang jika ada kepuasaan yang dirasakan dan berujung pada situasi damai. Perdamaian ini memiliki peran penting dalam membangun bangsa.

"Laksana seniman, dibutuhkan kreativitas dalam penyelesaian atau antisipasi agar konflik tidak terjadi. Tidak ada resep baku dan berlaku secara umum dalam penyelesaian konflik, ciptakan kepercayaan kepada yang berkonflik sebagai salah satu upaya dari penanganan konflik," jelas Farid.

Rektor Unhas Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu, juga memberikan penjelasan dari bukunya tentang konflik.

Dwia menjelaskan konflik sebagai kajian karena beberapa alasan. Salah satunya konflik dan kekerasan komunal yang terjadi di wilayah Sulsel merupakan konflik lokal.

Kerusuhan di Depan Gedung BPK RI. (Suara.com/Fakhri)
Kerusuhan di Depan Gedung BPK RI. (Suara.com/Fakhri)

"Namun, memiliki karakter kekerasan komunal yang terjadi di tempat lain juga representasi karakter kekerasan komunal wilayah lain di Indonesia,” kata Dwia.

M. Najib Azca Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM sebagai pembahas dalam bedah buku memberikan pandangan tentang buku Farid dan Dwia. Menurutnya, kedua buku menyampaikan narasi damai.

Untuk buku berjudul Damai di Bumi Sawerigading, narasi damai berada di tingkat lokal. Dengan corak konflik kekerasan sporadis dan terpencar di tingkat desa.

Sementara itu, sumber konflik bukan pada aspek SARA, melainkan motif ekonomi dan perubahan struktural sosial ekonomi dalam proses modernisasi.

“Buku karya dr. Farid, narasi bercorak reflektif, praksis dan biografis mengenai peran dan keterlibatan dalam proses perdamaian di Poso, Ambon, Aceh, Papua hingga Afghanistan,".

"Penulisnya merupakan sosok langka, seorang dokter dengan kecakapan dan kemampuan tidak biasa guna meretas jalan menuju perdamaian,” kata Najib.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini