Cerita Ketersediaan Listrik Mengubah Pulau Saugi Menjadi "Lebih Hidup"

Para pelajar berangkat ke sekolah, nelayan tak kesulitan saat memeperbaiki jaring dan ibu-ibu bergeliat dengan berbagai kerajinan.

M Nurhadi
Kamis, 20 Agustus 2020 | 09:52 WIB
Cerita Ketersediaan Listrik Mengubah Pulau Saugi Menjadi "Lebih Hidup"
Ilustrasi salah seorang operator PLTS sedang membersihkan panel surya di Pualu Saugi, Desa mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, Sulsel. (ANTARA Foto/ Suriani Mappong)

SuaraSulsel.id - Profesi nelayan jadi salah satu pekerjaan yang cukup rentan. Terlebih bagi mereka nelayan yang hidupnya hanya menggantungkan diri pada hasil melaut. Pendapatan yang tidak menentu menyulitkan mereka, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan pangan, pendidikan hingga penerangan atau listrik.

Fenomena ini tidak jarang ditemui di Indonesia. Ada banyak nelayan yang bernasib tidak beruntung. Salah satu potret kehidupan nelayan itu ada di Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Pulau yang dihuni sekitar 400 jiwa dengan 130 Kepala Keluarga (KK) ini, 70 persen warganya menggantungkan hidup dari hasil melaut.

Mereka juga membutuhkan penerangan dalam kehiduoan sehari-hari. Tidak hanya untuk menunjang pekerjaan, kebutuhan listrik juga agar anak-anak mereka bisa belajar pada malam hari.

Baca Juga:Zara "Dua Garis Biru" Trending, Netizen Bikin Reka Ulang Versi Kocak

Meski Pulau Saugi merupakan pulau terdekat di antara 117 pulau di wilayah Kabupaten Pangkep dengan jarak tempuh menggunakan kapal kayu bermesin (jolloro') hanya sekitar 15 menit. Meski demikian, kkondisinya tidak jauh berbeda dengan pulau-pulau yang belum teraliri listrik meski Indonesia sudah merdeka berpuluh-puluh tahun.

Fakta ini diakui salah seorang warga Pulau Saugi, Abdullah. Ia menuturkan, warga biasanya menggunakan lampu minyak seadanya untuk penerangan. Namun saat listrik tenaga diesel masuk ke pulau itu, kebutuhan listrik mereka mulai dapat terpenuhi.

Namun, listrik itu tentu memberatkan warga yang harus menyisihkan iuran Rp120 ribu per bulan untuk menutupi biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) listrik tenaga diesel itu. Terlebih, listrik hanya beroperasi dari pukul 6 petang hingga 10 malam (4 jam).

"Kalau musim ombak, otomatis nelayan kesulitan mencari ikan, nah kami sulit juga bayar iurannya. Mencari ikan tidak selamanya bisa dapat ikan banyak," katanya, melansir Antara.

Menyadari kesulitan warga, Kepala Desa Mattiro Baji H Muslimin bersama sekretaris Desanya Muh Anis mencoba mencarikan solusi dengan aktif berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerah setempat. Ia berharap, warga Saugi harus dapat menikmati listrik dengan waktu operasi lebih lama lagi dan murah.

Baca Juga:Gara-gara Lagu Mipan Zuzuzu Wanita Ini Dimarahi Ibunya, Kok Bisa?

Harapannya terjawab, tahun 2017 lalu, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang saat itu Menteri Ignasius Jonan memprogramkan bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan (PLT EBT) untuk menjangkau wilayah di Indonesia yang belum teraliri listrik.

Bantuan yang bersumber dari dana APBN tersebut diprioritaskan bagi warga yang berada di kepulauan dan pelosok desa. Kabupaten Pangkep sendiri memiliki 117 pulau, dua diantaranya terpilih mendapatkan bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yakni Pulau Saugi dengan kapasitas daya 50 KwP dan Pulau Sabangko 20 KwP.

Pada 10 Mei 2018 lal, Menteri ESDM hadir di Sulsel untuk meresmikan 21 PLT EBT yang salah satu diantaranya berada di Pulau Saugi. Listrik tenaga dieselpun diganti menjadi listrik tenaga surya.

Dengan listrik tenaga surya ini, Muslimin mengatakan, warga dibebani iuran Rp20 ribu per bulan untuk biaya operasional dan pemeliharaan yang dilakukan oleh dua orang operator yakni Muh Ilham dan Yusman.

Jam operasional listrik juga lebih lama dibandingkan mesin diesel, yakni pukul 6 petang hingga 7 pagi, sehingga warga lebih leluasa beraktivitas pada malam hari.

"Ibu-ibu nelayan dapat membantu suaminya memperbaiki jaring hingga pukul 10 malam, dan anak-anak mereka bisa belajar dan kerja tugas malam hari, apalagi saat ini semuanya sekolah daring," katanya.

Ketersediaan tenaga listrik menumbuhkan rasa memiliki pada masyarakat di pulau itu. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh sang operator PLTS di Pulau Saugi, Muh Ilham.

Dengan upah sebesar Rp500 ribu per bulan bersama dengan rekannya Muh Yusman yang turut merawat PLTS itu, dia masih dapat mengoperasikan dan merawat PLTS di Pulau Saugi. Meski terbilang sedikit, ia merasa sudah bangga bisa membantu warga di tempatnya. Ia dengan ikhlas bekerja untuk membantu warga di pulau ini tetap dapat menikmati listrik dengan harga terjangkau.

Meski demikian, ia tidak menutup realita kebutuhan rumah tangganya bersama isteri dan seorang anak, membutuhkan biaya hidup lebih dari upah yang diterima sebagai operator.

Ilham lantas mencari pekerjaan sambilan untuk menutupi biaya hidup keluarganya. Kondisi serupa juga dilakukan Yusman yang disela tugasnya turun melaut mencari kepiting rajungan.

Perihal teksin perawatannya, ia mengaku hanya mendapatkan pelatihan sekitar dua minggu di Ciracas dari Kementerian ESDM saat terpilih sebagai operator 2018.

Berbekal pelatihan itdua minggu tersebut, lelaki lulusan pesantren ini dengan telaten merawat semua perangkat PLTS itu, tertutama panel surya yang kerap dijatuhi sampah dedaunan ataupun kotoran burung saat melintas.

Untuk ketahanan baterei, ia menuturkan, daya yang dikeluarkan harus diatur dengan baik, sehingga masih ada cadangan daya baik dalam kondisi normal maupun pada saat musim hujan.

Salah satu masalah yang kerap muncul, saat musim penghujan, pencahayaan matahari berkurang, terpaksa memadamkan listrik PLTS satu hingga dua hari. Apabila daya yang tersimpan tidak mencukupi untuk disalurkan ke masing-masing rumah tangga dengan daya 600 Wh.

Rahasia perawatan yang telaten inilah yang membedakan dengan PLTS lainnya di daerah lain yang biasanya hanya mampu bertahan setahun dinikmati warga.

Guna PLTS ini lebih berkembang dan memiliki kapasitas lebih, Kepala Bappeda Kabupaten Pangkep Abd Gaffar mengatakan, hal itu akan dibahas dengan pemerintah desa dalam pengelolaannya dengan bentuk kemitraan.

Keberadaan PLTS di Pulau Saugi ini sedikit banyak secara perhalan mempengaruhi kondisi sosial warga yang mayoritas berprofesi nelayan.

Dulu, saat listrik belum bisa dinikmati selama 12 jam per hari, para pelajar tidak memiliki semangat untuk belajar. Kebanyakan anak-anak lebih memilih mencari ikan bersama orang tuanya dibandingkan bersekolah. Pulau itu hanya memiliki fasilitas sekolah dasar dan satu PAUD.

"Tapi sekarang seiring dengan berkembangnya informasi yang sudah mudah diakses karena ada fasilitas listrik, maka anak-anak lebih banyak melanjutkan pendidikan di ibu kota kabupaten," kata Anas yang juga adalah Ketua Badan Perwakilan Desa di Mattiro Baji.

Tersedianya listrik juga membuat ibu-ibu nelayan yang biasanya hanya menyisihkan waktunya menjemur ikan yang tidak terjual menjadi ikan asin, kini menjadi lebih kreatif dengan industri rumah tangga yang dikelola bersama.

"Kami membuat kue kering dan kerajinan tangan dari kerang-kerang, ini menjadi buah tangan bagi pengujung pulau," Ketua Kelompok industri rumah tangga di Pulau Saugi, Hj Rusmiati.

Di Pulau ini pula, terdapat usaha pengolahan kepiting rajungan untuk tujuan ekspor, sehingga nelayan di sekitarnya lebih memilih mencari kepiting rajungan dari pada ikan yang harus jauh ke tengah laut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini