Muhammad Yunus
Kamis, 30 Oktober 2025 | 17:57 WIB
Konferensi Pers Rock in Celebes (RIC) 2025 di Fort Rotterdam, Kamis (30/10). Festival musik terbesar di Indonesia Timur itu fokus pada isu lingkungan [Suara.com/Lorensia Clara]
Baca 10 detik
  • Festival tahunan yang lahir di Makassar itu menapaki jalan baru
  • Menjadikan musik sebagai medium kesadaran iklim
  • Seluruh kegiatan di festival diarahkan agar lebih ramah lingkungan

SuaraSulsel.id - Di tengah derasnya arus festival musik yang kerap hanya jadi ajang hiburan, Rock In Celebes mencoba berjalan ke arah yang berbeda.

Di edisi ke-16 tahun ini, festival tahunan yang lahir di Makassar itu menapaki jalan baru. Menjadikan musik sebagai medium kesadaran iklim.

Festival yang akan digelar pada 1-2 November 2025 di Fort Rotterdam itu kini berkolaborasi dengan IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) dan Music Declares Emergency Indonesia.

Kolaborasi ini menjadi tonggak penting dalam upaya menjadikan musik sebagai ruang edukasi dan refleksi atas krisis iklim yang semakin nyata.

"Musik tidak hanya jadi hiburan, tapi bisa menjadi ruang bersama untuk mengingatkan kita bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja," ujar promotor Rock In Celebes, Ardi Siji, Kamis, 30 Oktober 2025.

Sejak awal berdirinya, Rock In Celebes dikenal sebagai panggung lintas genre yang melahirkan kolaborasi dan energi kebebasan. Kini, semangat itu meluas menjadi kepedulian ekologis.

Tahun ini, seluruh kegiatan di festival diarahkan agar lebih ramah lingkungan.

Ardi menuturkan, konsep festival tahun ini dirancang lebih berkelanjutan. Seluruh aktivitas di dalamnya, mulai dari tata kelola sampah hingga sistem konsumsi, diarahkan untuk mengurangi jejak karbon.

Panitia meniadakan plastik sekali pakai, menyediakan stasiun isi ulang air minum gratis, dan mengimbau pengunjung membawa alat makan serta minum sendiri.

Baca Juga: Menteri Agama: Kerusakan Iklim Telan Korban 4 Juta Jiwa

"Langkah kecil, tapi kalau dilakukan bersama bisa berdampak besar," katanya.

Selain pengelolaan sampah, panitia juga bekerja sama dengan komunitas lingkungan untuk memantau dan mengevaluasi dampak acara terhadap sekitar.

Bagi Ardi, ini bukan sekadar festival, melainkan ruang di mana kesadaran ekologis diuji dan diterapkan langsung di lapangan.

Rock In Celebes kali ini juga menampilkan album kompilasi "Sonic/Panic Vol. 3" yang digarap oleh jaringan IKLIM.

Proyek ini mempertemukan musisi lintas genre untuk menyuarakan keresahan terhadap krisis iklim melalui karya mereka.

Nama-nama seperti Navicula, Efek Rumah Kaca, Tony Q Rastafara, Sukatani, Kunto Aji hingga The Brandals akan bergantian mengisi panggung.

Sebagian dari mereka memang sudah lama menjadikan musik sebagai sarana advokasi lingkungan.

Navicula, misalnya, dikenal sebagai band yang vokal soal isu deforestasi dan energi bersih.

Selain panggung utama, rangkaian acara juga menyoroti sisi reflektif lewat pameran seni lintas disiplin, pemutaran film, dan lokakarya yang menggandeng Greenpeace, Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Penahitam Art Collective.

Sejumlah jurnalis, aktivis, dan musisi juga ikut terlibat, di antaranya Adi Renaldi, Eko Rusdianto, Gede Robi (Navicula), Dandhy Laksono, Chicco Jerikho, hingga Seira Tamara H. (ICW).

Mereka akan membahas keterhubungan antara seni, pangan lokal, transisi energi, hingga peran festival dalam perubahan iklim

Ardi Siji menyadari, tidak mudah menggeser persepsi publik bahwa festival musik bisa berjalan seiring dengan isu keberlanjutan.

Namun, ia yakin perubahan harus dimulai dari ruang-ruang kecil seperti ini.

"Pengunjung akan merasakan pengalaman berfestival yang lebih dari sekadar perayaan. Sentuhan halus setiap nada teraktualisasi dengan menyadarkan setiap insan bahwa tidak ada musik di planet yang mati," ujarnya.

Sementara, bagi musisi lokal Makassar, isu iklim bukan hal asing.

Vokalis band TOD, Dian Mega Safitri mengatakan refleksi terhadap alam sudah lama hadir dalam karya mereka.

"Lagu kami, Songka Bala, diciptakan saat pandemi. Tapi maknanya lebih luas, tentang bagaimana alam memberi peringatan atas perbuatan manusia," ujarnya.

Bagi Dian, kerusakan lingkungan bukan semata fenomena global, tapi pengalaman sehari-hari yang dekat dengan masyarakat pesisir dan perkotaan. Ia percaya, musik bisa menjadi pengingat untuk menahan laju perusakan.

"Lagu ini semacam doa supaya kita kembali menghargai bumi," katanya.

Kesadaran itu pula yang ingin dihidupkan kembali oleh Rock In Celebes.

Di tengah perubahan iklim yang semakin terasa, seperti cuaca ekstrem hingga naiknya permukaan laut, festival ini berupaya menjadi jembatan antara dunia seni dan realitas lingkungan.

Bukan dengan ceramah, tapi dengan nada dan narasi yang bisa dirasakan penonton.

Di Fort Rotterdam nanti, dentuman musik mungkin masih akan menggetarkan dinding benteng tua itu. Tapi di balik riuhnya, ada pesan yang lebih senyap dan mendesak: bumi sedang menunggu tindakan nyata.

Dan mungkin kesadaran itu justru bisa lahir dari panggung yang selama ini kita kira hanya untuk bersenang-senang.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More