Muhammad Yunus
Jum'at, 19 September 2025 | 17:56 WIB
Warga memanjatkan doa saat berziarah di lokasi terdampak bencana gempa dan pencairan tanah atau likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (28/9/2022) [Suara.com/ANTARA]
Baca 10 detik
  • Orang-orang panik berlarian di jalanan, berteriak histeris: "Tsunami...! Tsunami...!"
  • Gempa sesar geser yang memicu longsoran bawah laut. Menghasilkan tsunami setinggi 10,73 meter
  • Pendidikan kebencanaan harus jadi bagian kurikulum sekolah dan budaya keluarga

SuaraSulsel.id - Jumat sore, 28 September 2018. Langit Palu mulai memerah, azan Magrib baru saja merampungkan gema syahdunya.

Umat muslim bersiap salat, mencari ketenangan setelah seharian beraktivitas. Namun, ketenangan itu seketika direnggut. Bumi tiba-tiba mengamuk.

Di Hotel Gajah Mada, Jimmi Nugraha, seorang mahasiswa yang sedang berburu data untuk tesisnya. Merasakan guncangan dahsyat.

Tiang-tiang hotel berderak horor, lemari dan kursi menari tak beraturan lalu ambruk, debu pekat langsung memenuhi kamar.

"Ini gempa!" batin Jimmi, dikutip Suara, Jumat 19 September 2025.

Otaknya otomatis memerintahkan tubuhnya mencari 'segitiga kehidupan' di sisi tempat tidur. Tapi guncangan itu terlalu kuat, bahkan sempat membuatnya terlempar.

Saat guncangan mereda, Jimmi bergegas keluar, menuruni tangga melewati pecahan kaca dan tegel yang mencuat tajam.

Kengerian yang lebih besar menanti di luar. Orang-orang panik berlarian di jalanan, berteriak histeris: "Tsunami...! Tsunami...!"

Situasi kacau balau. Listrik padam, sinyal komunikasi putus satu per satu.

Baca Juga: Kementerian PU Janji Bangunan Baru DPRD Makassar Anti Gempa dan Kebakaran

Likuifaksi yang dipicu gempa 7,4 skala Richter di Palu mengakibatkan rumah roboh dan tenggelam di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/10). [Antara/Mohamad Hamzah]

Jalanan gelap gulita, hanya diterangi cahaya ponsel yang berkelebat panik.

Di tengah kerumunan, Jimmi melihat seorang perempuan berlumuran lumpur, menggendong bayi mungil sambil menggandeng balita lainnya.

Wajahnya sembab, air mata berlinang, suaranya bergetar mengungkapkan: "Rumah saya hilang ditelan bumi."

Ibu dan anak-anaknya selamat setelah merangkak di atas atap rumah-rumah yang amblas.

Malam itu, tangisan, jeritan, dan teriakan keputusasaan menjadi melodi paling menyayat hati.

Luka di Palu, Sigi, Donggala begitu dalam.

Foto udara: Kawasan yang porak-poranda akibat likuifaksi yang dipicu gempa bumi berkekuatan 7,4 SR pada 28 September 2018 di Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). [Antara/Irwansyah Putra]

Ketika Bumi Bergeser, Laut Bergelora, dan Tanah Mencair

Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 itu berpusat di laut, 69 km dari barat laut Palu, pada kedalaman 11 kilometer.

Menurut BMKG, ini gempa sesar geser yang memicu longsoran bawah laut.

Menghasilkan tsunami setinggi 10,73 meter yang merangsek daratan hampir setengah kilometer.

Seolah belum cukup, intensitas gempa hingga skala X MMI (ekstrem) memicu likuefaksi massal di Balaroa, Petobo, Jono Oge, dan Sibalaya.

Tanah berubah jadi lumpur hisap, "menelan" bangunan, kendaraan, bahkan manusia hidup-hidup.

Kebakaran hebat dan tanah longsor di jalur utama menuju Donggala dan perbukitan Kebun Kopi melengkapi daftar bencana.

Angka-angka bicara: 4.340 jiwa meninggal atau hilang, 4.438 luka-luka, 68.451 rumah rusak, infrastruktur lumpuh total.

Militer dikerahkan, berpacu dengan waktu, namun fasilitas komunikasi dan akses jalan yang terputus menghambat bantuan.

Jimmi Nugraha, salah satu saksi hidup bersama sejumlah peneliti usai gempa yang menelan korban ribuan jiwa di Palu, Sulawesi Tengah [Suara.com/Dokumentasi Jimmi Nugraha]

Tesis Menjadi Misi Kemanusiaan

Jimmi tiba di Palu seminggu sebelum gempa, untuk survei tesis S2 Teknik Geologi Unhas.

Bahkan, saat baru mendarat di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, gempa M 5 sudah "menyapa" seolah memberi peringatan dini.

Beberapa hari ia berkeliling, mencoba memahami dinamika bawah permukaan Palu.

Tak pernah terbayang, survei lapangan itu akan menjadi bagian dari sejarah bencana dahsyat.

Setelah kejadian, Jimmi memilih bertahan. Menyaksikan langsung, sekaligus berupaya berkontribusi di tengah krisis.

Ketika rekan-rekan dari BMKG dan Balai Besar Wilayah IV Makassar tiba untuk survei pascabencana, Jimmi tanpa ragu ikut serta, meski tanpa dukungan anggaran.

Ini bukan sekadar tanggung jawab peneliti, tapi panggilan kemanusiaan. Ia merasa terikat, terlebih beberapa anggota tim adalah rekan lamanya.

Tim dibagi dua. Satu mengkaji dampak gempa, satu lagi tsunami.

Selama seminggu penuh, Jimmi dan tim menyusuri setiap jengkal Palu. Mengumpulkan data, mewawancarai korban dan saksi mata, melakukan pengukuran.

Mereka tak hanya melihat kehancuran, tapi juga semangat luar biasa masyarakat yang mencoba bertahan.

Sejumlah bagian bangunan yang rusak akibat tsunami tahun 2018 masih berdiri di sekitar Pantai Taman Ria, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/8/2022). ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Membangun Kota di Atas Kesadaran

Menurut Jimmi, Palu adalah pelajaran berharga. Bencana ini bukan sekadar angka atau data.

Tapi pesan mendalam saatnya berdamai dengan alam, menghormati kekuatannya, dan menata ulang cara hidup berdampingan.

Berdamai bukan berarti menyerah, tapi memahami dan hidup selaras.

Gempa dan tsunami bukan hukuman, melainkan bagian dari dinamika alam yang sudah berlangsung jutaan tahun.

"Alam selalu mencari keseimbangan, dan kita manusia hanya bisa bertahan jika mau menyesuaikan diri," Katanya.

Pemerintah daerah, terutama di wilayah rawan, harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berbasis potensi bencana yang komprehensif.

Kajian ilmiah para ahli geologi dan geofisika wajib jadi landasan utama.

Tidak boleh lagi membangun tanpa perhitungan. Apalagi menutup mata demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Mitigasi adalah kunci. Masyarakat perlu dibekali pengetahuan dasar menyelamatkan diri saat gempa, membaca tanda tsunami, dan hidup dengan kesadaran risiko.

Pendidikan kebencanaan harus jadi bagian kurikulum sekolah dan budaya keluarga.

Sejumlah warga melaksanakan zikir bersama mengenang bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di depan Masjid Arqam Baburrahman yang amblas ke laut di Pantai Kampung Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/9). [ANTARA FOTO/Basri Marzuki]

Tindakan Kecil, Dampak Besar

Jimmi mengutip pepatah Latin "gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo."

Setetes air mampu menembus batu, bukan karena kekuatannya, melainkan karena tetesannya yang terus-menerus.

Begitu pula dalam pengurangan risiko bencana. Simulasi evakuasi, pelatihan rutin, atau mengajari anak-anak cara menghadapi gempa dan tsunami mungkin tampak sepele.

Tapi, jika dilakukan konsisten, langkah kecil ini akan berdampak besar. Menumbuhkan budaya sadar bencana, dan menyelamatkan banyak nyawa.

Warga menunggu datangnya waktu berbuka puasa (ngabuburit) di sekitar Masjid Terapung Arkam Babu Rahman yang rusak akibat diterjang tsunami di Pantai Teluk Palu di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (13/4/2021). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Bersahabat dengan Bencana

Kita tak bisa mengendalikan alam, tapi kita bisa mempersiapkan diri. Membangun rumah tahan gempa, menyusun jalur evakuasi tsunami, menyimpan peralatan darurat.

Melatih keluarga, komunitas, dan lembaga agar tidak panik saat bencana datang.

Berdamai dengan alam bukan hanya jargon. Itu kesadaran bahwa kita tinggal di bumi yang hidup, yang terus bergerak dinamis, yang sesekali mengguncang dan menguji daya tahan kita.

"Mari hidup berdampingan. Karena pada akhirnya, bukan alam yang harus menyesuaikan diri dengan kita, melainkan kitalah yang harus belajar memahami alam," kata Jimmi.

Jimmi Nugraha melihat ke arah langit Palu, mengenang. Ia tahu, Palu sudah banyak berubah dalam tujuh tahun ini. Gedung-gedung baru berdiri, jalan-jalan diperbaiki.

Tapi yang terpenting, ia berharap kesadaran itu kini lebih kuat berakar di hati setiap penduduk.

Load More