Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Senin, 07 Juli 2025 | 12:52 WIB
Warga di empat daerah di Sulawesi Selatan menjadi korban banjir. Banyak warga tidak sempat menyelamatkan diri karena sistem peringatan dini tidak ada [SuaraSulsel.id/Istimewa]

SuaraSulsel.id - Duka kembali menyelimuti empat kabupaten di Sulawesi Selatan. Banjir bandang menerjang Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai.

Peristiwa ini bukan hanya soal ratusan rumah yang terendam. Tapi juga soal "alarm" bencana yang tak kunjung berbunyi nyaring.

Sebuah ironi di zaman digital, di mana peringatan justru datang terlambat.

Bagi warga, bencana ini terasa seperti serangan mendadak. Air bah datang tanpa permisi, meninggalkan kepanikan dan kerugian.

Baca Juga: Fadli Zon Ungkap Fakta Mengejutkan Keris Sulawesi Selatan

Lantas, apa yang salah?

Peringatan Telat, Warga Jadi Korban

Di Bantaeng, suara warga terdengar pilu. Mereka merasa tak punya cukup waktu untuk bersiap.

"Kami dapat info banjir saat air sudah masuk rumah," kata Daeng Haris (42), salah seorang warga terdampak.

Pengalaman Daeng Haris ini membongkar masalah utamanya. Sistem peringatan yang "tertidur".

Baca Juga: 5 Rumah Adat Sulawesi Selatan: Dari Tongkonan Mendunia Hingga Langkanae Penuh Filosofi

Data ketinggian air dan curah hujan di hulu sungai tidak terkirim secara real-time ke pusat informasi di hilir.

Akibatnya, saat informasi diolah dan disebar, air sudah lebih dulu sampai di pemukiman warga.

Peringatan yang seharusnya menjadi penyelamat, malah menjadi laporan kejadian.

Sulsel Tertinggal Zaman?

Kondisi ini membuat para aktivis lingkungan geram. Achmad Yusran, Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH), mengaku miris melihat situasi ini.

Menurutnya, Sulawesi Selatan seakan tertinggal di saat daerah lain sudah berlari kencang dengan teknologi.

"Sementara di daerah lain, sudah memakai sensor IoT dan prediksi AI, sebagian daerah di Sulsel masih mengandalkan kentongan dan pemantauan manual," ungkap Yusran, Senin 7 Juli 2025.

Padahal, teknologi seperti Soil Moisture Alert (Peringatan Kelembaban Tanah) bisa memprediksi potensi banjir hingga enam jam sebelumnya.

Enam jam adalah waktu yang sangat berharga untuk evakuasi. Sayangnya, tidak ada aturan yang "memaksa" pemerintah daerah untuk mengadopsi teknologi baru, membuat banyak daerah terjebak dengan cara-cara lama.

Masalahnya tidak berhenti di situ. "Koordinasi semrawut, informasi tidak sampai," tambah Yusran.

Informasi cuaca ekstrem dari BMKG seringkali mandek di meja birokrasi dan tidak cepat sampai ke masyarakat di level desa.

"Di Bulukumba misalnya, data deforestasi di hulu tidak otomatis memicu siaga banjir di hilir. Akibatnya, masyarakat tidak punya waktu cukup untuk evakuasi," jelasnya.

Saatnya Bangun dari Tidur

Daripada terus meratapi, Yusran menawarkan solusi konkret agar Sulsel bisa "melek" teknologi dan informasi. Kuncinya adalah transformasi total dari hulu ke hilir.

Pasang teknologi cerdas. Wajibkan pemerintah daerah memasang sensor IoT di sungai-sungai rawan seperti di Bantaeng dan Bulukumba.

Sensor ini akan memantau ketinggian air dan kondisi tanah 24/7.

Buat platform digital. Kembangkan aplikasi atau platform seperti "PetaBencana.id" versi Sulsel.

Platform ini bisa mengirim notifikasi otomatis ke HP warga via SMS atau aplikasi saat bahaya mengancam.

Perbaiki aturan, bukan cuma proyek. Revisi Peraturan Daerah (Perda) untuk mewajibkan Pemda memperbarui sistem peringatan dini setiap 3 tahun. Beri sanksi tegas jika lalai.

Ubah pesan "Waspada" jadi aksi. Ganti pesan darurat yang ambigu dengan instruksi jelas. Contoh: "EVAKUASI KE POSKO TERDEKAT DALAM 1 JAM!"

"Libatkan masyarakat sebagai sensor hidup," tegas Yusran.

Latih kelompok tani dan pemuda di hulu untuk memantau kondisi sungai dan melapor cepat lewat grup WhatsApp khusus.

Jangan lupa, adakan gladi evakuasi rutin agar warga terbiasa dan tidak panik.

Solidaritas Bergerak Cepat

Meskipun sistem pencegahan masih lemah, semangat gotong royong masyarakat Sulsel tak pernah padam.

Tim Andalan Peduli bersama UPZ Pemprov Sulsel dan BPBD Sulsel langsung tancap gas menyalurkan bantuan.

Ketua Tim Andalan Peduli, Rahmat Panrita, mengatakan timnya langsung turun ke titik-titik terparah.

"Di Bulukumba, kami memulai dari Kecamatan Ujung Loe. Di sana kondisinya cukup parah, ratusan rumah terdampak. Beberapa bahkan hanyut terbawa arus," ujar Rahmat.

Tim bahkan berjuang menembus akses sulit untuk menjangkau korban longsor di kaki Gunung Bawakaraeng. Bantuan berupa beras, telur, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya disalurkan ke posko-posko pengungsian di Bulukumba dan Bantaeng.

Bantuan ini disambut dengan rasa syukur oleh warga. "Alhamdulillah mereka menyampaikan terima kasih kepada bapak Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman," kata Rahmat.

Harapan Baru untuk Sulsel

Memang, mengubah sistem tidak mudah. Anggaran dan birokrasi sering jadi penghalang. Namun, memulai dari satu kabupaten sebagai pilot project bisa menjadi langkah awal yang baik.

Seperti kata Yusran, "Banjir adalah keniscayaan alam, tapi korban jiwa bukan takdir. Dengan sistem peringatan yang cerdas, Sulsel bisa lebih siap."

Sudah saatnya lonceng peringatan di Sulsel berbunyi lebih nyaring dan lebih cepat dari deru air bah.

Load More