Cita-cita di balik pembentukan tim ini amat besar--untuk menjadikan Ndikosapu sebagai desa pertama di Kabupaten Ende yang mandiri dan layak untuk anak.
Sedikitnya mereka harus memenuhi 16 indikator dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk mewujudkan harapan itu.
Dalam hal ini tugas mereka adalah bagaimana memerangi kebiasaan para orang tua yang cenderung menelantarkan anak ketika sedang bekerja hingga asupan gizinya tak terpenuhi dengan baik.
Lalu menghentikan kebiasaan mendidik anak dengan cara-cara yang kasar bahkan kontak fisik, dan memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anak.
Mosalaki menanggapi kebutuhan ini dengan serius. Fokusnya kini adalah memastikan semua anak bersekolah, memiliki akses layanan kesehatan, dan tumbuh dengan mental kuat, yang tidak mudah tergoda oleh pergaulan bebas atau tindakan yang melanggar adat dan hukum negara.
Namun, tantangannya besar. Angka partisipasi sekolah masih rendah. Selain jarak sekolah yang jauh, banyak anak belum memiliki akta kelahiran.
Pendataan terakhir menunjukkan 30-40 persen anak belum memilikinya, padahal dokumen ini penting untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan.
“Saya tidak apa tertinggal, tapi masyarakat jangan. Harus ada satu dua yang jadi orang sukses. Sekolah dan kesehatan ini penting. Tapi kalau anak-anak tidak punya akta, bagaimana bisa lanjut sekolah atau berobat?” kata Antonius.
Ndikosapu dihuni sekitar 127–130 kepala keluarga. Akses jalan tetap jadi tantangan. Berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut dan kontur perbukitan, jalan di desa ini mudah rusak dan rawan longsor.
Baca Juga: Rahasia Desa Wunut Klaten Berdaya dengan BRI dan Sejahterakan Warganya
Bila bencana terjadi, satu-satunya pilihan adalah berjalan kaki atau naik motor. Pilihan yang sungguh melelahkan untuk menuju ke pasar atau sekolah yang berjarak sekitar 15 kilometer di kecamatan itu.
Namun, keterbatasan itu tidak menghentikan langkah mereka. Salah satu terobosan besar adalah memanfaatkan internet satelit secara swadaya.
Bagi mereka, internet bukan soal gaya hidup, tapi kebutuhan mendesak.
Kini anak-anak dapat belajar daring dan mudah mencari referensi pelajaran yang mereka inginkan. Pemerintah desa juga lebih mudah mengelola administrasi.
Bahkan, pemuda mulai memanfaatkan platform digital untuk mempromosikan hasil tani, tenun, dan budaya lokal mereka.
“Yang lebih penting, kami bisa belajar dan memperkuat apa yang bisa kami lakukan dan kami punya,” kata Antonius sambil tersenyum.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- 5 Sepatu Lokal Senyaman Hoka Ori, Cushion Empuk Harga Jauh Lebih Miring
Pilihan
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
-
Agensi Benarkan Hubungan Tiffany Young dan Byun Yo Han, Pernikahan di Depan Mata?
-
6 Smartwatch Layar AMOLED Murah untuk Mahasiswa dan Pekerja, Harga di Bawah Rp 1 Juta
Terkini
-
Begini Cara FEB Unhas Dorong Pelaku UMKM Maros Lebih Adaptif dan Tahan Banting
-
5 Ide Liburan Keluarga Anti Bosan Dekat Makassar Sambut Akhir Tahun
-
WNA Asal Filipina Menyamar Sebagai Warga Negara Indonesia di Palu
-
Pelindo Regional 4 Siap Hadapi Lonjakan Arus Penumpang, Kapal, dan Barang
-
Hutan Lindung Tombolopao Gowa Gundul Diduga Akibat Ilegal Logging