SuaraSulsel.id - Ndikosapu, sebuah desa adat di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, mungkin bukan nama yang kerap muncul dalam peta besar pembangunan nasional.
Namun dari tempat yang lebih akrab dengan dingin dan sunyi perbukitan ketimbang sinyal dan jalan aspal, warganya kini tengah menulis babak baru tentang keberanian, konsistensi, dan harapan bagi generasi mereka.
Mayoritas penduduknya hidup dari pertanian sederhana, mengandalkan curah hujan, serta mewarisi sistem tanam turun-temurun dari leluhur.
Kini, desa ini mulai bergerak maju. Bukan lewat gebrakan besar, tetapi melalui langkah-langkah kecil yang konsisten dan berakar pada semangat gotong royong.
Titik balik perubahan mulai terasa tiga tahun terakhir, melalui kolaborasi erat antara warga, pemerintah desa, tokoh agama, dan kepala adat yang dalam bahasa setempat disebut Mosalaki.
Sosok Mosalaki di Ndikosapu adalah Antonius Bewa (56), pemimpin yang mengarahkan pembangunan berbasis adat dan budaya di wilayah Suku Ndiko dan Sapu ini.
Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan mewarisi tongkat kepemimpinan adat.
Awal 1990-an, ia merantau dan membangun karier sebagai pegawai negeri di Dinas Kesehatan Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Namun belum genap lima tahun berkarir di perantauan kabar duka datang dari kampung halaman, dan mengubah arah hidupnya.
Baca Juga: Rahasia Desa Wunut Klaten Berdaya dengan BRI dan Sejahterakan Warganya
Ayahnya yang merupakan Mosalaki saat itu, meninggal dunia.
Keluarga besar memintanya segera pulang. Kehadirannya sangat dinantikan, bukan hanya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang sang ayah, tapi juga untuk melanjutkan kepemimpinan adat di Ndikosapu.
“Saya pikir saya ini lahir di bulan gelap. Mau bagaimana lagi? Memang begitu aturannya. Saya anak tengah dan belum menikah saat itu, jadi saya harus terima,” kata Antonius dengan suara seraknya, saat ditemui di Balai Desa Ndikosapu belum lama ini.
Pulang ke kampung bukanlah langkah mundur. Berbekal pengalaman di dunia birokrasi dan layanan kesehatan, ia mulai menanamkan perubahan yang dimulai dari cara berpikir atau mindset masyarakat.
Ruang diskusi mulai terbuka lebar. Topiknya meluas, dari pendidikan, pengasuhan anak, hingga hak-hak sosial-ekonomi masyarakat hukum adat yang selama ini terabaikan.
Gerakan ini mendapat dukungan dari tiga pilar utama kepala desa, tokoh agama, dan Mosalaki.
Gerakan perubahan makin terarah sejak pemerintah desa bermitra dengan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI). Mereka yang membersamai warga untuk membentuk Gugus Tugas Layak Anak.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bukan Jay Idzes, Pemain Keturunan Indonesia Resmi Gabung ke AC Milan Dikontrak 1 Tahun
- Roy Suryo Desak Kejari Jaksel Tangkap Silfester Matutina: Kalau Sudah Inkrah, Harus Dieksekusi!
- Skincare Reza Gladys Dinyatakan Ilegal, Fitri Salhuteru Tampilkan Surat Keterangan Notifikasi BPOM
- Selamat Datang Jay Idzes! Klub Turin Buka Pintu untuk Kapten Timnas Indonesia
- Jelajah Rasa Nusantara dengan Promo Spesial BRImo di Signature Partner BRI
Pilihan
-
Daftar 5 Sepatu Lokal untuk Lari Harian, Nyaman dan Ringan Membentur Aspal
-
Aremania Wajib Catat! Manajemen Arema FC Tetapkan Harga Tiket Laga Kandang
-
Kevin Diks Menggila di Borussia-Park, Cetak Gol Bantu Gladbach Hajar Valencia 2-0
-
Calvin Verdonk Tergusur dari Posisi Wingback saat NEC Hajar Blackburn
-
6 Smartwatch Murah untuk Gaji UMR, Pilihan Terbaik Para Perintis 2025
Terkini
-
Pemblokiran Rekening Pasif, BRI Beri Tips Aman Bertransaksi bagi Nasabah
-
BRI Komitmen Mengimplementasikan Asta Cita untuk Dukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional
-
Donat Tuli Jadi Simbol Kemandirian Difabel di Sulawesi Selatan
-
BRI Dukung UMKM Aiko Maju Jadi Pemasok Program MBG di Sitaro
-
Dewan Pers: Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat