Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Rabu, 05 Oktober 2022 | 12:15 WIB
Pengunjuk rasa membawa replika gurita raksasa yang diletakkan di depan pintu keluar kantor Gubernur Sulsel, Rabu 5 Oktober 2022 [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

Ia mengatakan mereka langsung kehilangan pendapatan. Banyak dari mereka yang terpaksa menggadaikan emas untuk bertahan hidup.

Beberapa nelayan juga memilih untuk meninggalkan pulau untuk mencari penghidupan. Belum lagi soal anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya sudah tak punya uang.

"Kami sudah protes sejak tahun 2020. Saat ini banjir rob selalu mengancam masyarakat di sana," keluhnya.

Kata Sita, dua tahun pasca tambang pasir laut, dampak tersebut masih dirasakan oleh nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng. Masalah diperparah dengan masih adanya rencana reklamasi MNP dengan luasan total 1.428 Ha.

Baca Juga: Mitologi Kraken, Rahasia Bawah Laut Penghancur Kapal

Artinya, proyek ini kedepannya masih membutuhkan material pasir laut. Sehingga konflik ruang antar nelayan dengan pemerintah dan korporasi akan kembali terjadi.

"Bagaimana mau pulih perekonomian di pulau Kodingareng kalau terumbu karangnya sudah rusak karena tambang pasir laut. Ikan-ikan sudah pindah tempat. Bahkan Copong (terminalnya ikan menurut para nelayan) itu sudah tidak sama seperti dahulu lagi. Ombaknya juga sudah semakin tinggi. Akibatnya, banyak sekarang keluarga nelayan di pulau sudah tinggalkan pulau untuk cari pekerjaan lain," jelasnya.

Monster Oligarki

Menurut pengunjuk rasa, kehadiran monster oligarki di Sulawesi Selatan tidak lepas dari banyaknya kesepakatan politik dan bisnis yang mencengkram serta menggerogoti sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penghidupan masyarakat. Salah satunya yakni sumber daya alam pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Saat nelayan, perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil mengalami dampak sosial-lingkungan akibat aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi MNP, di waktu yang bersamaan kelompok oligarki disebut menikmati keuntungan dari proyek tersebut.

Baca Juga: Konon Anti Oligarki dan Politik Dinasti, Partai Ummat kok Justru Pilih Mantu Amien Rais Jadi Ketum?

Koalisi Selamatkan Laut Indonesia pada bulan September 2022 merilis hasil investigasi kelompok oligarki di balik proyek tambang pasir laut.

Setelah menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL, ada 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar. Dua di antaranya adalah PT Banteng laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur.

Dua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat mantan gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.

Tidak hanya aktivitas tambang pasir laut, Koalisi Save Spermonde juga telah menemukan sejumlah korporasi besar dan nama-nama yang diduga kuat memiliki hubungan dekat dengan para pengambil kebijakan di balik pembangunan reklamasi dan jalan tol MNP.

Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel Slamet Riadi mengungkapkan bahwa awal mula merosotnya penghidupan nelayan-perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil saat adanya aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi CPI pada tahun
2017.

"Praktik tambang laut dan reklamasi MNP semakin mengancam penghidupan masyarakat dan ekosistem pesisir pulau-pulau kecil Sulawesi Selatan. Bahkan hal tersebut dilegalisasi melalui produk perundang-undangan yang tentu saja menguntungkan para oligarki," ujar Slamet Riadi.

Load More