Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Kamis, 12 Mei 2022 | 08:55 WIB
Ilustrasi: Hakim di Ruang Harifin Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar, Senin, 15 November 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Enam media massa di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, digugat perdata di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Enam media massa tersebut, yakni Antara News, Terkini News, Celebes News, Makassar Today, Kabar Makassar, dan RRI.

Surat gugatan itu tercatat di PN Makassar tertanggal 31 Desember 2021, dan sejauh ini telah melalui proses persidangan beberapa kali sejak 18 Januari 2022, hingga proses mediasi.

Namun, dalam proses mediasi kedua pihak tidak menemui kesepakatan. Hingga PN Makassar mengagendakan sidang pembacaan jawaban para tergugat, pada Kamis (12/5/2022), pukul 09.00 Wita hari ini.

Diketahui, pihak penggugat menggunakan dasar dan alasan melayangkan gugatan yakni pemberitaan yang menyebut M. Akbar Amir bukan keturunan Raja Tallo.

Baca Juga: Pertemuan Saudagar Bugis Makassar 2022 Akan Geliatkan UMKM di Sulsel

Berita tersebut diperoleh wartawan enam media tersebut dari hasil konferensi pers yang digelar Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT) di Hotel Grand Celino Makassar.

Dimana yang bertindak sebagai narasumber dalam berita, yakni dua orang keturunan langsung dari Raja Tallo, Andi Rauf Maro Daeng Marewa, dan Hatta Hasa Karaeng Gajang, pada 18 Maret 2016.

Upaya konfirmasi juga telah dilakukan pihak media saat itu. Namun tidak mendapat respons dari penggugat. Namun, berselang lima tahun lebih, muncul surat gugatan perdata M. Akbar Amir yang didaftarkan ke PN Makassar.

Salah seorang Kuasa Hukum Pihak tergugat Samsul Asri mengatakan, selama ini, sejumlah media yang digugat tidak pernah menerima hak jawab, hak koreksi atau surat keberatan dan somasi dari penggugat.

"Jadi kami perlu klarifikasi bahwa penggugat hingga saat ini belum pernah menggunakan hak koreksi, hak jawab, dan atau somasi kepada media yang digugat," kata Samsul Asri kepada media sesaat sebelum sidang dimulai.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Sulawesi Selatan, Kamis 12 Mei 2022: Pagi Sampai Siang Berawan

Saat ini sejumlah pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Kebebasan Pers Sulawesi Selatan telah mempersiapkan materi jawaban yang akan digelar hari ini.

Dasar Gugatan

Dalam surat gugatannya, yang diterima media, penguggat menyebut enam media tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum. Karena dianggap merugikan atau mencemarkan nama baik penggugat.

Atas dasar itulah penggugat meminta PN Makassar untuk menghukum enam media tersebut dengan membayar ganti rugi senilai lebih dari Rp100 triliun lebih.

Penggugat mengaku kehilangan sejumlah investasi dengan nilai triliunan rupiah. Salah satunya pembangunan Pulau Lakkang berdasarkan Heads Of Agreement 'Royal Talloo Rivertfront City Resort" dengan tema The Regency Of Sulawesi tanggal 24 Juni 2014 dengan nilai Rp100 triliun dengan taksiran kerugian dari keuntungan yang tidak diterima sebesar 50% dari nilai investasi menjadi Rp50 triliun.

Empat dari enam media yang digugat juga telah melakukan koordinasi dan sepakat membentuk koalisi bersama yang bertujuan agar kasus ini tidak terulang. Karena jika hal seperti ini maka semua hasil konperensi pers yang dimuat media di masa datang bisa saja digugat secara hukum.

Pihak tergugat juga telah melakukan koordinasi kepada Dewan Pers untuk menanggapi kasus ini secara tertulis. Agar menjadi pertimbangan hakim di PN Makassar.

Samsul Asri juga menambahkan, kasus ini sebenarnya adalah berita yang diperkarakan penggugat merupakan karya jurnalistik. Mestinya diselesaikan di Dewan Pers.

"Intinya kita tidak ingin ada kasus seperti ini lagi di Sulsel. Bahwa berita kedulawarsa, masih dipersoalkan secara hukum tanpa melihat konteks bahwa kasus ini ranahnya pemberitaan," paparnya, dalam rilis, Kamis 12 Mei 2022.

Direktur MakassarToday, Syafril Rahmat, mengatakan gugatan pengugat tidak memenuhi kaidah UU Pers No 40/99, di luar konteks dan kadulawarsa.

"Kami berharap Majelis Hakim Yang Mulia, berkenan mengarahkan penggugat untuk menempuh mekanisme hukum pers, dan tidak menjadikan lembaga Peradilan sebagai ajang untuk melegalkan praktek-praktek kriminalisasi pers yang mengancam kemerdekaan pers dan demokrasi".

Load More