Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Sabtu, 19 Maret 2022 | 15:00 WIB
Diskusi di Kebun Denassa, Desa Tamallayang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa Rabu (16/3/2022). [Foto : Istimewa]

Dr Sumarlin Rengko menyoal lembaga dan instansi yang kurang padu dalam pengajaran dan pembelajaran aksara Lontaraq, termasuk  bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Makassar. Dia juga mengeritik kebijakan penempatan guru bahasa daerah.

Ada guru yang terangkat PNS sebagai guru bahasa daerah, tapi justru mengajar bahasa Indonesia, PKn, agama atau seni budaya.

Eka Yuniarsih, Guru SMPN 24 Makassar, yang mengajar bahasa daerah, mengungkapkan bahwa di Sulsel ada Pergub tentang perlindungan bahasa daerah, tahun 2018, tapi Pergub ini dalam praktiknya dianggap hanya berlaku di tingkat SMA.

Penggunaan aksara Lontaraq memang belum diformalkan, tapi beberapa orang dan komunitas mempraktikkannya. Ramlah Dg Tonji guru SMK Negeri 1 Gowa, menyampaikan dia mempraktikkan penggunaan aksara Lontaraq saat membuat daftar belanja ketika mau ke pasar. Sementara Denassa gunakan aksara Lontaraq Makassar/Mangkasara dalam penulisan nama lokal keanekaragaman hayati di RHD dan Kebun Denassa.

Begitupun dengan Prof Aminuddin Salle, yang sejak 2016 mengubah rumah orangtuanya, yang dibangun sejak 1936 menjadi museum kecil. Upaya itu dilakukan karena, katanya, suatu bangsa dikatakan besar kalau punya bahasa, aksara, dan punya identitas.

Dia membuat fatwa-fatwa leluhur dalam bentuk aksara Lontaraq lalu dipajang. Materi tentang budaya dan kearifan lokal Makassar juga dibuat dan ditayangkan di kanal YouTube.

Load More