SuaraSulsel.id - Aktor Reza Rahadian mengungkap kesulitan mendalami perannya sebagai Budi Baik di film: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Reza mengaku di film itu dia harus belajar menggunakan bahasa Indonesia yang baku.
"Saya bisa bilang tidak mudah melafalkan dialog bahasa Indonesia yang baku dan cukup formal," kata Reza Rahadian di Makassar, Selasa, 7 Desember 2021.
Reza mengaku penggunaan bahasa Indonesia yang baku sudah jarang terdengar di era sekarang. Namun, pengalamannya di dunia teatrikal cukup membantu. Untuk bisa melafalkan bahasa Indonesia yang baku selama syuting.
"Apalagi di era sekarang orang sudah jarang mendengar penggunaan tata bahasa seperti itu. Tapi rasanya background panggung teater sangat membantu untuk mengolah kata-kata yang baku itu," ujarnya.
Film yang diadaptasi oleh novel berjudul sama karya Edwin itu, bercerita soal kisah percintaan dibarengi kekerasan di tahun 1980-an. Dimana Reza berperan sebagai Budi Baik, sosok yang angkuh dan menyebalkan.
Dalam film ini, Budi Baik digambarkan sebagai bajingan flamboyan sekaligus penjual minyak lintah yang bisa menyembuhkan impoten. Dia berselingkuh dengan Iteung (Ladya Cheryl), istri dari Ajo Kawir (Marthino Lio).
Sementara, Ajo Kawir adalah seorang preman yang tidak takut mati. Ia gemar berkelahi dan menjadi pembunuh bayaran.
Namun, ada satu rahasia memalukan yang membuatnya tak percaya diri. Ya, Ajo pengidap impotensi. Ia menutupi rahasia itu dengan cara berkelahi.
Reza mengaku cukup membantu sutradara untuk menghidupkan karaker Budi Baik di film tersebut. Termasuk soal laku geraknya yang punya ciri khas tersendiri.
Baca Juga: Kenang Mirdad Tak Hadiri Sidang Cerai, Pengacara Beri Penjelasan Begini
"Saya ngobrol sama sutradaranya apa yang mau dibuat, apa yang mau dilakukan lewat karakter Budi Baik. Ada ide tentang karakter Budi Baik saya sampaikan ke Sutradara lalu mencari bentuk karakternya," tukasnya.
Film ini kemudian meraih penghargaan Golden Leopard kategori kompetisi internasional (Concorso Internazionale) dalam Festival Film Internasional Locarno 2021.
Merasakan Hidup di Rezim Soeharto
Remaja sekarang ingin rasakan bagaimana hidup di rezim Soeharto? Ya, nontonlah film; Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Film yang sedang tayang di bioskop ini bisa dikata sebagai paket lengkap. Filmnya bergenre action dan romantis, dibarengi dengan visual dan komposisi gambar vintage yang sangat mendukung inti cerita.
Film yang disutradari Edwin itu juga berhasil membawa penonton ke dalam cerita romantis antara Ajo Kawir (Martinho Lio) dan Iteung (Ladya Cheryl). Menariknya, karena film ini berani memadukan isu-isu kejadian di era Presiden Soeharto, seperti penculikan, larangan untuk tak melihat gerhana matahari dan penembakan misterius (Petrus).
Di era Presiden Soeharto, tepatnya tahun 1983, pemerintah meminta agar masyarakat tidak menatap gerhana matahari. Alasannya bisa mengakibatkan kebutaan.
Menteri Penerangan Harmoko kala itu menginstruksikan agar gerhana matahari disaksikan lewat siaran radio atau TVRI saja. Pemerintah bahkan gencar memasang spanduk hingga tingkat RT untuk daerah yang dilalui gerhana seperti Jawa Tengah, asal daerah Soeharto.
Dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bahkan diperlihatkan gambar koran yang menerbitkan larangan melihat gerhana matahari kala. Juga diskusi dua anak kecil yang berdebat soal larangan tersebut.
Istilah Petrus juga berulang kali disebutkan dalam film ini. Petrus adalah penembakan misterius yang terjadi di tahun 1983 hingga 1985 atau pada masa Orde Baru.
Saat itu banyak ditemukan warga Indonesia yang tewas, bahkan kian tahun terus meningkat. Penembakan misterius itu dilakukan kepada preman untuk menekan angka kriminalitas.
Produser film Muhammad Zaidy mengatakan awalnya tergugah memproduksi film ini karena adaptasi dari novel yang sangat kaya dengan muatan sosial-politik. Apalagi kisahnya terjadi di era presiden Soeharto.
Bukunya sendiri memang mengangkat tema-tema tersebut. Termasuk soal adagen seks yang terbilang cukup vulgar.
Zaidy mengaku adegan seks dalam film itu sangat relevan dengan kondisi saat ini. Dimana Iteung dan Ajo adalah korban pelecehan seks di masa lalu. Mereka sama-sama punya trauma.
Zaidy mengatakan isu Toxic Masculinity seperti ini perlu dibahas. Termasuk soal impotensi yang bagi sebagian orang dianggap memalukan, namun ini tidak perlu dihindari.
"Saya melihat hal ini perlu dibahas termasuk soal budaya patriarki di Indonesia yang menjadi bagian dari cerita film ini. Sangat relevan dengan kondisi hingga saat ini. Jadi adegan seks itu bukan untuk cari sensasi atau erotisme, bukan," tukasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- 5 Sepatu Lokal Senyaman Hoka Ori, Cushion Empuk Harga Jauh Lebih Miring
Pilihan
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
-
Agensi Benarkan Hubungan Tiffany Young dan Byun Yo Han, Pernikahan di Depan Mata?
-
6 Smartwatch Layar AMOLED Murah untuk Mahasiswa dan Pekerja, Harga di Bawah Rp 1 Juta
Terkini
-
Begini Cara FEB Unhas Dorong Pelaku UMKM Maros Lebih Adaptif dan Tahan Banting
-
5 Ide Liburan Keluarga Anti Bosan Dekat Makassar Sambut Akhir Tahun
-
WNA Asal Filipina Menyamar Sebagai Warga Negara Indonesia di Palu
-
Pelindo Regional 4 Siap Hadapi Lonjakan Arus Penumpang, Kapal, dan Barang
-
Hutan Lindung Tombolopao Gowa Gundul Diduga Akibat Ilegal Logging