SuaraSulsel.id - Penyimpangan dari prinsip ummatan wasathan terjadi bukan hanya karena faktor politik, tetapi faktor pemahaman. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfudz Siddiq mengatakan.
Menurut Mahfudz Siddiq, kultur umat Islam Indonesia adalah berada di tengah-tengah atau moderat (ummatan wasathan).
Terkait faktor pemahaman, Mahfudz Siddiq mencontohkan, pengalaman tiga tahun lalu, ketika ia meminta pengurus musala atau masjid dekat rumahnya mengecilkan volume pengeras suara. Karena di rumahnya ada balita sakit.
"Namun isu yang muncul kemudian adalah ada 'orang politik' yang melarang azan di musala, isu yang membuat saya harus memberi klarifikasi," ujar Mahfudz Siddiq, dalam rilisnya Minggu 17 Oktober 2021.
Baca Juga: LBH Makassar: Pelaporan Narasumber Berita ke Polda Sulsel Salah Alamat
Persoalan pengeras suara itu, lanjut dia, menunjukkan dalam ummatan wasathan, diperlukan pemahaman keislaman yang baik. Misalnya suatu musalah dengan speaker yang bersuara kencang itu ada di sebuah kampung yang cuma berisi 20 rumah dengan jarak berjauhan, maka hal itu baik.
"Namun bila kampung itu sudah berisi 200 keluarga dan gang-gang di situ sudah sempit, maka speaker yang kencang justru akan mengganggu sendi-sendi kehidupan. Ini satu contoh, betapa faktor pemahaman keislaman yang baik itu sangat penting," tandasnya.
Karena itu, Mahfudz berharap agar umat Islam dapat memahani konsep Ummatan Wasathan di tengah-tengah masyarakat agar diterima oleh semua pihak, dan tidak terpengaruh oleh politisasi agama kelompok tertentu.
"Jadi bila kita mau membangun masyarakat yang Ummatan Wasathan, maka kebaikan dan keadilan atau keseimbangan harus menjadi nilai dan orientasi kita bersama," pungkas Mahfudz Siddiq.
Ekstrimisme Pemikiran dan Sikap Beragama yang Salah
Baca Juga: AJI Makassar: Polda Sulsel Tak Profesional Terima Laporan Sengketa Pemberitaan
Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfudz Siddiq mengatakan, kultur ummat Islam Indonesia adalah berada di tengah-tengah atau moderat.
Namun akibat pemahaman yang tidak utuh selama ini, kerap dijadikan sebagai agenda politik. Sehingga seringkali memicu ekstrimisme pemikiran dan sikap beragama yang salah.
"Kultur dasar muslim di Indonesia itu ummat tengahan (ummatan washatan). Tapi pemahaman yang tidak utuh dan agenda politik, yang seringkali memicu ekstremisme pemikiran dan sikap beragama," kata Mahfudz Siddiq dalam keterangannya, Minggu (17/10/2021).
Hal ini disampaikan Mahfudz Siddiq dalam webinar Moya Institute bertajuk 'Umat Islam Indonesia: Ummatan Wasathan' secara daring di Jakarta, Jumat (15/10/2021).
Menurut Mahfudz, menjadi orang Indonesia itu takdir. Sementara menjadi Muslim, Nasrani, Hindu, dan Budha adalah pilihan. Perbedaan pilihan keyakinan agama bertemu dalam kesamaan takdir, yaitu orang Indonesia.
Maka agenda politik keumatan, seharusnya justru untuk memperkuat takdir bersama Indonesia. Bukan malah sebaliknya, memecah-belah Indonesia.
"Budaya ummat tengahan akan kuat jika pemahaman terhadap ajaran Islam terus dibangun dan politisi tidak menjadikan sentimen agama sebagai alat dan agenda politik," katanya.
Sentimen keagamaan tentu saja dapat mengganggu konsep ummatan wasathan, serta memunculkan potensi terjadinya kembali pembelahan politik dan masyarakat yang luar biasa seperti pada Pemilu 2019 yang lalu.
"Konsep ummatan wasathan merupakan konsep masyarakat harmonis, moderat, dan berdiri di tengah sehingga dapat diterima oleh semua pihak," katanya
Menurut dia, apabila pembelahan politik terjadi lagi pada Pemilu 2024, maka konsep ummatan wasathan akan kembali porak poranda, karena beda pilihan politik, akibat agama di politisasi.
"Ketika Pilpres 2019 lalu, pembelahan politiknya luar biasa. Bahkan, sampai ada perceraian akibat perbedaan pilihan capres. Jadi pernikahan yang merupakan wahana ibadah dalam Islam, bisa porak-poranda akibat pilihan politik. Ini akibat dari politisasi agama," ujar Mahfudz Siddiq.
Mahfudz menjelaskan, ada dua esensi tentang ummatan wasathan, yang pertama adalah kebaikan atau al khairiyah. Dan yang kedua adalah prinsip keadilan atau keseimbangan.
Sedikit saja bergeser dari dua nilai tersebut, sambung dia, akan menjauh dari masyarakat ummatan wasathan, bahkan bisa membuat umat Islam menjelma menjadi faktor yang destruktif.
Berita Terkait
-
Hukum Sendawa di Depan Orang Lain Menurut Aturan Islam
-
Ulasan Buku Al Ghazali karya Shohibul:Jejak Spiritual Sang Hujjatul Islam
-
Densus 88 Ringkus 2 Terduga Teroris Negara Islam Indonesia di OKU Timur, Inisial MD dan MA
-
Ulasan Buku Al-Farabi, Sang Maestro Filsafat yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Kelompok Hamas dan Jihad Islam Serang Lokasi Vital Militer Israel di Tel Aviv
Terpopuler
- Agus dan Teh Novi Segera Damai, Duit Donasi Fokus Pengobatan dan Sisanya Diserahkan Sepenuhnya
- Raffi Ahmad Ungkap Tragedi yang Dialami Ariel NOAH, Warganet: Masih dalam Lindungan Allah
- Bak Terciprat Kekayaan, Konten Adik Irish Bella Review Mobil Hummer Haldy Sabri Dicibir: Lah Ikut Flexing
- Bukti Perselingkuhan Paula Verhoeven Diduga Tidak Sah, Baim Wong Disebut Cari-Cari Kesalahan Gegara Mau Ganti Istri
- Beda Kado Fuji dan Aaliyah Massaid buat Ultah Azura, Reaksi Atta Halilintar Tuai Sorotan
Pilihan
-
Thom Haye hingga Ragnar Oratmangoen Punya KTP DKI Jakarta, Nyoblos di TPS Mana?
-
Awali Pekan ini, Harga Emas Antam Mulai Merosot
-
Ada Marselino Ferdinan! FIFA Rilis Wonderkid Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Desas-desus Shell Mau Hengkang dari RI Masih Rancu, SPBU Masih Beroperasi
-
Media Asing Soroti 9 Pemain Grade A Timnas Indonesia di Piala AFF 2024, Siapa Saja?
Terkini
-
Kinerja Cemerlang BRI: Sunarso Dedikasikan Penghargaan The Best CEO untuk Insan BRILiaN
-
Lari Bareng di Bali Bisa Borong Hadiah Ratusan Juta
-
KPR BRI Property Expo 2024 Goes to Ciputra Surabaya, Banyak Hadiah dan Hiburan Menarik
-
Apakah Garmin Venu 3 Memiliki Layar Sentuh? Temukan Jawaban Beserta Fitur-Fitur yang Dimilikinya
-
Sosok Kasatreskrim AKP Ryanto Ulil Anshar Yang Ditembak Mati Rekannya Sendiri