Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Minggu, 22 Agustus 2021 | 12:24 WIB
La Galigo disebut sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Lebih panjang daripada epik India, Mahabarata, dan Ramayana [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Calabai adalah bahasa Bugis, yang berarti banci, bencong atau waria. Dalam novel ini dikisahkan soal Saidi sebagai tokoh utama.

Saidi adalah anak laki-laki yang diharapkan bisa jadi panutan dalam sebagai laki-laki dalam keluarga. Karena kedua kakak Saidi adalah perempuan. Akan tetapi kehadiran Saidi menjadi tidak diharapkan, bahkan dianggap mempermalukan keluarga, karena dalam perkembangan usianya Saidi tumbuh secara kemayu atau Calabai.
Sang ayah, puang Baso menempuh berbagai cara untuk menjadikan Saidi lelaki yang "utuh". Sayangnya, keluarga, lingkungan bermain, lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, bahkan sampai lingkungan agama di tempat Saidi tinggal, tidak ada yang berpihak kepadanya.

Tak ingin menggoreskan luka lebih dalam di hati orang tuanya, saidi memilih pergi. Pertemuan dengan lelaki sepuh bersurban putih di dalam mimpinya telah membakar gairahnya untuk bertualang ke Segeri, negeri para Bissu.

Bissu adalah pemuka spriritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan perempuan di dalam dirinya. Tugasnya sebagai penjaga keseimbangan alam. Disana, Saidi menemukan ilmu warisan leluhur. Dan disana pula ia menemukan jati dirinya sebagai Bissu.

Baca Juga: Innalillahi, Dua Pendaki Tewas Usai Kibarkan Bendera Merah Putih di Puncak Gunung

6. Lontara Rindu

Lontara adalah huruf tradisional masyarakat bugis, atau makasar, atau bisa juga berarti kitab. Lontara ditulis di daun lontar dengan menggunakan lidi atau batang ijuk lalu digosok dengan arang sehingga berbekas.

Dalam novel ini, sang penulis, Gegge Mappangewa menyuguhkan kisah rindu yang diawali dengan pengenalan budaya yang sarat akan adat istiadat dan kepercayaan.

Novel peraih penghargaan terbaik pertama 'Lomba Novel Republika 2011' ini bercerita tentang kerinduan mendalam seorang anak yang terpisah dengan ayah, dan saudara kembarnya.

Penulis menceritakan seorang anak bernama Vito terpaksa berpisah dengan ayah, dan saudara kembarnya, lantaran perbedaan agama antara ayah dan ibunya. Vito mempunyai saudara kembar bernama Vino.

Baca Juga: Epidemiolog Unhas: Kasus Kematian Covid-19 di Sulsel Cenderung Usai Produktif

Setelah orang tuanya bercerai, Vito tinggal bersama ibunya. Sementara Vino dengan ayahnya. Rindu yang membuncah membuat Vito harus mencari ayahnya di Perrinyameng, Amparita, belasan kilometer dari kampungnya di daerah pegunungan.

Ayah Vito pergi ketika Vito masih kecil. Beda keyakinan membuat kakeknya tak bisa menerima ayahnya, sehingga ibunya dulu harus mengorbankan kehormatan keluarga, kabur dari rumah demi ayah Vito itu.

Vito adalah anak yang terluka dan ketika masuk usia SMP ia kerap bertanya mengapa sang Ayah meninggalkannya? Inilah kisah pencarian sekaligus kehangatan siswa SMP itu di masa belianya di Cenrana, Pancalautang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, di masa kemarau panjang mendera.

Vito dan teman-temannya mendapatkan ajaran moral islami dari Pak Guru Amin yang sering bercerita tentang kisah-kisah masa lampau yang tercatat di lontara. Namun di kemudian hari, Pak Amin harus menerima kenyataan pahit ketika warga menuduhnya telah menyebarkan fanatisme agama.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More