Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Minggu, 22 Agustus 2021 | 12:24 WIB
La Galigo disebut sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Lebih panjang daripada epik India, Mahabarata, dan Ramayana [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Budaya Sulawesi Selatan disajikan dengan banyak media. Mulai film hingga bentuk novel atau karya sastra. Ditulis langsung oleh warga Sulawesi Selatan.

SuaraSulsel.id merangkum beberapa buku atau novel terbaik berlatar belakang soal budaya Sulsel, antara lain :

1. Puya ke Puya

Novel ini sarat dengan kisah seputar adat Toraja. Inilah yang menjadi nilai plus dari novel karya Faisal Oddang ini.

Baca Juga: Innalillahi, Dua Pendaki Tewas Usai Kibarkan Bendera Merah Putih di Puncak Gunung

Dengan cara bertutur yang unik dan keragaman perspektif, novel ini mampu mengangkat persoalan lokal berlatar budaya Toraja pada dimensi yang lebih luas.

Novel ini membuka wawasan pembaca bahwa keteguhan terhadap tradisi juga perlu dicermati agar tidak menimbulkan pergesekan dengan kehidupan sosial dan modernisasi.

Dikisahkan, kematian Rante Ralla, sang ketua adat Kampung Kete’ di tanah Toraja, memerlukan biaya sangat besar untuk upacara mengantarkan mayat (rambu solo) ke alam tempat menemui Tuhan (puya).

Ketua adat harus diupacarakan besar-besaran, dipotongkan puluhan kerbau dan ratusan ekor babi demi derajat.

Konflik bermula saat Allu Ralla, putra satu-satunya menolak mengadakan upacara, dan menyarankan agar ayahnya dimakamkan di Makassar. Allu Ralla hanya memiliki tabungan untuk membiayai pemakaman sederhana. Tidak cukup untuk mengupacarakan bangsawan sekelas ayahnya.

Baca Juga: Epidemiolog Unhas: Kasus Kematian Covid-19 di Sulsel Cenderung Usai Produktif

Bagi Allu, kebudayaan adalah produk manusia, dan relevansi dengan zaman sangatlah penting. Jika sudah tak relevan, tidak perlu dipertahankan. Rencana itu ditentang keluarga besar sehingga mayat Rante Ralla tak kunjung diupacarakan.

Niat Allu ini tentu langsung ditentang oleh keluarga besarnya, terutama oleh Paman Marthen, adik Rante Ralla. Sebagai keluarga bangsawan, mereka tentu malu dan tidak sanggup saat dimintai pertanggungjawaban oleh para leluhur.

Si Paman kemudian membujuk Allu dan ibunya, Tina Ralla, untuk menjual tanah dan tongkonan mereka kepada Mr. Berth, pengusaha tambang. Lokasi rumah keluarga Ralla memang menghalagi akses jalan menuju tambang nikel milik bule itu.

Allu menghadapi dilema terberat di usianya yang masih muda, apakah dia tega membiarkan roh ayahnya melayang-layang tak dapat tempat hanya karena masalah dana? Di sisi lain, tongkonan peninggalan sang ayah terancam roboh demi melaksanakan Rambu Solo'.

Puya ke Puya menyodorkan lebih dari konflik antara cueknya modernitas dan kolotnya adat. Novel ini memotret sisi dalam manusia dengan segala warna-warni mereka.

Selain setting Toraja yang kental dengan Rambu Solo'-nya, hal menarik dari novel ini adalah sudut pandang yang digunakan penulis. Faisal Oddang menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian.

2. La Galigo

La Galigo bukanlah sebuah novel. Namun, karya sastra ini bisa membawa angan kamu ke abad-14. La Galigo disebut sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Lebih panjang daripada epik India, Mahabarata, dan Ramayana.

Kitab kuno berbentuk puisi ini berisi mitos penciptaan dari peradaban Bugis. Bahkan bagi sebagian masyarakat Bugis yang masih menganut agama lokal, yakni kepercayaan Tolotang, posisi La Galigo ialah kitab suci.

Bukan saja apa yang tertuang dalam kitab itu sering dianggap benar-benar pernah terjadi, bahkan bagi penganut agama lokal itu pembacaan La Galigo juga harus disertai ritual.

Sebelum dibaca harus ada persembahan, sesaji, dupa, pemotongan ayam, atau kambing. Hal tersebut membuat UNESCO menjadikan buku ini sebagai Ingatan Kolektif Dunia tahun 2011 silam.

Berbentuk puisi epik, karya ini awalnya berupa tuturan lisan. Namun memasuki paruh pertama abad 19, karya ini mulai ditulis. Berbentuk puisi tradisional Bugis atau Lontara. Komposisi bahasa penyusun puisi ini dianggap indah.

Merujuk deskripsi UNESCO, La Galigo disepakati berasal dari abad ke-14, sekalipun sebenarnya bisa jadi usianya jauh lebih tua. Menariknya, sekalipun La Galigo bukanlah teks sejarah karena aspek mitologis narasi itu terasa sangat kuat, tetapi teks ini diakui oleh banyak ilmuwan memiliki pengaruh besar pada bagaimana sejarahwan melihat masa lalu peradaban Bugis. Khususnya, masyarakat Bugis di periode sebelum era masuknya Islam.

Tokoh utama La Galigo ialah Sawerigading, cucu Batara Guru. Cerita dimulai dari dunia yang kosong dan turunnya Batara Guru ke bumi. Alkisah, manusia pertama ini turun di daerah Luwu di utara Teluk Bone. Batara Guru, sebagai raja digantikan oleh anaknya, La Tiuleng, dan bergelar Batara Lattu'.

La Tiuleng atau Batara Lattu’ punya anak kembar, yakni Sawerigading dan We Tenriabeng. Sengaja keduanya dibesarkan terpisah. Sebagai saudara kembar, mereka baru bertemu lagi saat menginjak usia dewasa. Sawerigading terpesona dan jatuh hati pada saudara kembarnya. Sawerigading pun berniat menikahi We Tenriabeng.

Rahasia keluarga yang selama ini disimpan pun dibeberkan. Diceritakanlah kepada Sawerigading, We Tenriabeng sejatinya ialah saudara kembarnya. Sementara itu, kawin saudara sedarah diyakini bakal mendatangkan bencana. Mengikuti pola tabu inses yang nisbi universal, cinta Sawerigading jelas bertempuk sebelah tangan.

Kasih yang tak sampai ini kemudian menghantar Sawerigading pergi merantau ke daratan China. Di sana Sawerigading bertemu putri yang berwajah sama persis dengan saudari kembarnya. Bernama We Cudaiq, anak seorang raja di daratan China.

Setelah melewati serangkaian kisah dan peristiwa, lahirlah anak laki-laki sebagai buah cinta dan perkawinan mereka. Anak laki-laki inilah kemudian diberi nama 'La Galigo'.

Sekembalinya Sawerigading dan We Cudaiq ke Luwuk, kerajaannya yang terdahulu, kapal yang dinahkodainya karam. Mereka berdua lantas menjadi penguasa 'dunia bawah'. Sedangkan saudari kembarnya, We Tenriabeng naik ke alam dewa atau 'dunia atas'. Tak berselang lama setelah itu, semua manusia pertama itu dipanggil kembali pulang ke alam dewata. Meninggalkan La Galigo dan saudara lainnya di 'dunia tengah' dan menjadi penguasa Luwuk.

Disebutkan La Galigo menjadi teks susastra yang populer karena beberapa kekuatan atau kelebihan. Salah satunya isi ceritanya terdiri puluhan episode (tereng) dengan cara penulisan yang memiliki aturan sastra yang ketat. Isinya antara lain memuat norma, konsep kehidupan, budaya, silsilah dewa-dewa, dan asal usul orang Bugis.

Natisha: Persembahan Terakhir adalah karya penulis asal Jeneponto, Khrisna Pabicara [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

3. Natisha

Diracik dari khazanah tradisi dan disajikan dalam narasi-narasi tak terperi, novel ini bakal menghipnotis kamu. Betapa cinta dan angkara murka begitu tipis bedanya.

Natisha: Persembahan Terakhir adalah karya penulis asal Jeneponto, Khrisna Pabicara. Sebuah novel yang menceritakan mengenai sejarah, budaya, mitos, sekaligus kisah cinta yang rumit.

Pada novel Natisha, tidak hanya sekadar bercerita tentang cinta dan pengorbanan, namun lebih tepatnya kearifan lokal orang Makassar. Seperti kisah tentang Parakang atau manusia jadi-jadian.

Diceritakan, ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1998, kekacauan terjadi di Sulawesi. Seorang putri bangsawan Makassar bernama Natisha kabur bersama Rangka sehari menjelang pernikahannya dengan Tutu, kekasihnya.

Natisha adalah seorang bangsawan dengan gelar karaeng, sedangkan Tutu hanyalah seorang biasa. Kisah cinta mereka menemui banyak kendala dikarenakan status sosial yang berbeda.

Rangka sendiri adalah sahabat Tutu yang menganut ilmu parakang, sebuah ilmu hitam kuno yang dipercaya telah punah. Penganut Parakang bisa kaya raya, awet muda, serta kebal segala jenis senjata. Akibat guna-guna, Natisha terpikat untuk pergi dari calon suaminya.

Demi kesempurnaan ilmunya, Rangka harus mempersembahkan empat perempuan. Dua pernah melahirkan, duanya lagi masih perawan. Tabiat masing-masing persembahan harus selaras dengan empat sifat unsur alam sesuai ritual yang dijalaninya: air, tanah, api, dan angin.

Akan tetapi sebelum itu terjadi, melalui secarik pesan rahasia yang ditemukan di loteng rumah Rangka, Tutu lalu berusaha memecahkan kode-kode rahasia di dalam kitab kuno tentang ilmu parakang. Demi melawan Rangka dan merebut kembali Natisha.

4. Silariang

Novel karya Oka Aurora ini menyoal romansa dan konflik keluarga berlatar belakang silariang atau kawin lari. Hal tersebut masih kerap dijumpai pada masyarakat Bugis Makassar.

Dalam adat Bugis, perempuan yang memilih "Silariang" sama artinya sudah dianggap meninggal. Bagi pasangan ini ada risiko nyawa melayang. Pada tahun 2018, novel ini pernah difilmkan.

Novel ini bercerita tentang kisah cinta Yusuf dan Zulaikha. Yusuf adalah anak pengusaha sukses yang lebih memilih menjadi jurnalis, sementara Zulaikha berasal dari keluarga bangsawan keturunan Raja Bone.

Sepasang kekasih itu memilih untuk "Silariang" atau kawin lari ketika cinta mereka tak direstui keluarga. Keduanya akan diburu untuk dibunuh oleh keluarga yang tak merestuinya.

5. Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki

Novel karya Pepi Al-Bayqunie ini cukup unik. Membahas soal isu identitas gender, jiwa perempuan yang terperangkat dalam tubuh laki-laki.

Calabai adalah bahasa Bugis, yang berarti banci, bencong atau waria. Dalam novel ini dikisahkan soal Saidi sebagai tokoh utama.

Saidi adalah anak laki-laki yang diharapkan bisa jadi panutan dalam sebagai laki-laki dalam keluarga. Karena kedua kakak Saidi adalah perempuan. Akan tetapi kehadiran Saidi menjadi tidak diharapkan, bahkan dianggap mempermalukan keluarga, karena dalam perkembangan usianya Saidi tumbuh secara kemayu atau Calabai.
Sang ayah, puang Baso menempuh berbagai cara untuk menjadikan Saidi lelaki yang "utuh". Sayangnya, keluarga, lingkungan bermain, lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, bahkan sampai lingkungan agama di tempat Saidi tinggal, tidak ada yang berpihak kepadanya.

Tak ingin menggoreskan luka lebih dalam di hati orang tuanya, saidi memilih pergi. Pertemuan dengan lelaki sepuh bersurban putih di dalam mimpinya telah membakar gairahnya untuk bertualang ke Segeri, negeri para Bissu.

Bissu adalah pemuka spriritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan perempuan di dalam dirinya. Tugasnya sebagai penjaga keseimbangan alam. Disana, Saidi menemukan ilmu warisan leluhur. Dan disana pula ia menemukan jati dirinya sebagai Bissu.

6. Lontara Rindu

Lontara adalah huruf tradisional masyarakat bugis, atau makasar, atau bisa juga berarti kitab. Lontara ditulis di daun lontar dengan menggunakan lidi atau batang ijuk lalu digosok dengan arang sehingga berbekas.

Dalam novel ini, sang penulis, Gegge Mappangewa menyuguhkan kisah rindu yang diawali dengan pengenalan budaya yang sarat akan adat istiadat dan kepercayaan.

Novel peraih penghargaan terbaik pertama 'Lomba Novel Republika 2011' ini bercerita tentang kerinduan mendalam seorang anak yang terpisah dengan ayah, dan saudara kembarnya.

Penulis menceritakan seorang anak bernama Vito terpaksa berpisah dengan ayah, dan saudara kembarnya, lantaran perbedaan agama antara ayah dan ibunya. Vito mempunyai saudara kembar bernama Vino.

Setelah orang tuanya bercerai, Vito tinggal bersama ibunya. Sementara Vino dengan ayahnya. Rindu yang membuncah membuat Vito harus mencari ayahnya di Perrinyameng, Amparita, belasan kilometer dari kampungnya di daerah pegunungan.

Ayah Vito pergi ketika Vito masih kecil. Beda keyakinan membuat kakeknya tak bisa menerima ayahnya, sehingga ibunya dulu harus mengorbankan kehormatan keluarga, kabur dari rumah demi ayah Vito itu.

Vito adalah anak yang terluka dan ketika masuk usia SMP ia kerap bertanya mengapa sang Ayah meninggalkannya? Inilah kisah pencarian sekaligus kehangatan siswa SMP itu di masa belianya di Cenrana, Pancalautang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, di masa kemarau panjang mendera.

Vito dan teman-temannya mendapatkan ajaran moral islami dari Pak Guru Amin yang sering bercerita tentang kisah-kisah masa lampau yang tercatat di lontara. Namun di kemudian hari, Pak Amin harus menerima kenyataan pahit ketika warga menuduhnya telah menyebarkan fanatisme agama.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More