Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Kamis, 27 Mei 2021 | 15:27 WIB
Andi Dina Noviana Rivani korban bom bunuh diri di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016 / [SuaraSulsel.id / Muhammad Aidil]

SuaraSulsel.id - Andi Dina Noviana Rivani sudah bisa tersenyum lebar. Setelah berhasil melawan rasa trauma yang mendalam. Pasca menjadi korban ledakan bom bunuh diri di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016 silam.

Kondisi Andi Dina saat ini telah membaik, meski dampak dari ledakan bom lima tahun lalu itu masih terasa sampai sekarang pada dirinya.

Sehingga, membuat pendengarannya menurun. Tangannya sudah tidak dapat mengangkat beban yang berat dan kedua kakinya pun sudah tidak mampu berjalan jauh. Fisiknya tidak kuat setelah menjadi korban ledakan bom.

"Sekarang dampaknya terasa sekali. Jalan yang tadinya bisa sampai 5 kilometer, sekarang cuma 3 kilometer saja," kata Dina, saat menjadi narasumber di acara short course daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang digelar Aliansi Indonesia Damai (AIDA) secara virtual, Rabu 25 Mei 2021.

Baca Juga: Polri Sebut Ali Kalora Sempat Ingin Serahkan Diri

Saat menceritakan kisah ini, air mata Dina mengalir berjatuhan di pipi. Suaranya juga sesekali terdengar berubah menjadi berat. Patut dimaklumi, Dina masih teringat ledakan bom yang telah membuat cita-citanya menjadi kandas.

Tetapi, Dina tetap tegar dan bersyukur kepada Allah SWT karena doanya telah dikabulkan. Dina pun kini sudah bisa tidur dengan nyenyak setelah berdamai dengan rasa trauma yang selalu menghantuinya setiap malam.

"Saya berdoa. Saya minta sama Allah, kasih saya tidur walau cuma satu hari. Karena saya sudah ketakutan, telinga berdengung terus. Badan panas seperti terbakar," jelas Dina.

Perempuan yang diketahui lahir di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini menjadi korban ledakan bom saat bekerja di salah perusahaan di Jakarta. Waktu itu, Dina berada di luar kantor, tepatnya di sekitar kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Dia tidak tahu bahwa tempat yang didatanginya waktu itu sangat berbahaya. Ledakan bom yang dilakukan oleh teroris berlangsung sangat cepat. Dina yang berada di sekitar lokasi langsung jatuh pingsan.

Baca Juga: Teroris Papua Makin Terdesak, Polisi Minta Lekagak Telenggen Serahkan Diri

"Cepat sekali kejadiannya. Pokoknya setelah saya sadar, saya sudah tertimpa plafon dan segala macam," ungkap Dina.

Peringatan satu tahun Tragedi Bom Thamrin 14 Januari 2016, di Pos Polisi Perempatan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1).

Awalnya Dina tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya dan membuat tempat tersebut hancur. Dia mengira ledakan yang terjadi di lokasi itu dipicu oleh tabung gas.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Dina bangkit dan berusaha keluar dari tempat tersebut seorang diri. Usahanya berhasil setelah dia loncat keluar melalui pintu jendela yang menghadap langsung ke Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Dengan ketinggian dua meter.

Sialnya, jendela yang diloncati Dina tersebut di bawahnya ternyata telah dipenuhi serpihan kaca akibat dari ledakan bom.

"Ternyata sudah banyak serpihan kaca. Jadi saya berada di atas serpihan kaca seperti berenang," kata dia.

"Ledakan yang saya tahu ada dua kali," tambah Dina.

Setelah berada di luar, Dina mengaku tidak merasa kesakitan. Padahal, tubuhnya telah dipenuhi dengan darah. Semua itu baru Dina ketahui setelah ada warga yang menegur dan ingin menolongnya ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan medis.

Dina mengalami luka yang cukup serius. Pundak sebelah kirinya harus dijahit agar tidak terus mengeluarkan darah akibat tersayat sepihan kaca. Kaki dan tangannya juga ikut luka. Belum lagi telinga sebelah kiri Dina yang sudah tidak normal karena pendengaranya menurun.

Selama dirawat, Dina sempat ingin dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan yang lebih mumpuni. Namun, ditolak Dina.

"Saya mau dirujuk tapi saya bersikeras untuk pulang ke rumah. Karena saya pikir tempat yang paling aman itu di rumah," ujar Dina.

Untuk mengobati rasa traumanya, Dina dibantu oleh dokter psikiater dengan cara berobat jalan. Setiap hari Dina harus rutin mengkonsumsi berbagai macam obat penenang. Penyebabnya, karena rasa trauma yang dialami membuat Dina sulit tidur dengan nyenyak. Selama tiga bulan lamanya.

"Harus minum empat macam obat penenang. Setiap malam, kerja saya cuma teriak. Ketakutan karena trauma," jelas Dina.

"Bagaimana menghadapi trauma? Saya dibantu psikiater atau psikolog karena psikis saya yang betul-betul dihajar. Psikiater bilang proses pengobatan saya cukup cepat karena cuma delapan bulan dan akhirnya saya berhenti minum obat," katanya.

Biaya rumah sakit diberikan secara gratis selama Dina berobat. Selain itu, Dina juga mendapatkan kompensasi. Semua ini diberikan pemerintah kepada para korban ledakan bom.

"Negara juga memperhatikan. Dengan biaya kompensasi dan rumah sakit," tutur Dina.

Dina mengaku merasa marah dan kesal dengan pelaku teroris tersebut yang telah membuat dirinya cukup menderita. Namun, dia juga menyalahkan dirinya karena datang ke tempat itu saat bom diledakkan.

Dimasa-masa sulit itulah Dina pernah ingin mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri akibat musibah yang menimpanya.

"Jujur saya pernah mencoba bunuh diri," beber Dina.

Hingga suatu hari, Dina pun sadar bahwa apa yang telah terjadi pada dirinya itu semuanya telah diatur oleh sang maha pencipta. Karena itu, Dina memilih berdamai dengan dirinya sendiri dan juga berdamai dengan peristiwa ledakan bom.

"Saya sadar bahwa kejadian saat itu pasti ada hikmahnya dan obat sesungguhnya adalah diri kita sendiri," ujar Dina.

Dina bisa bercerita ke publik terkait peristiwa yang dialaminya, setelah lima bulan menjalani perawatan.

Satu minggu setelah kejadian, dia pernah diundang di salah satu program televisi. Kondisinya tubuhnya gemetar dan ketakutan.

"Waktu itu kondisi saya masih gemetar. Saya harus didorong-dorong," ucap Dina.

Rasa trauma yang selalu menghantui berhasil ditaklukkan setelah Dina berjuang dengan keras untuk memaafkan pelaku teroris yang meledakan bom tersebut. Dina mengucapkan rasa terima kasih kepada para pelaku karena berkat mereka, dia bisa menjadi lebih kuat sampai sekarang.

"Saya memaafkan pelaku walau pun susah. Untuk bisa menjalani hidup sampai sekarang. Saya tidak dendam dengan mereka karena itu beban dan saya tidak mau bawa beban. Prinsipnya, memaafkan adalah obat yang paling mujarab," tutur dia.

Saat berkunjung di Kota Makassar, terjadi ledakan bom di depan pintu gerbang Gereja Katedral, Makassar pada Minggu 28 Maret 2021. Hal itu pun kembali membuat Dina ketakutan. Meski Dina berada jauh dari lokasi ledakan.

"Ke Makassar kemarin terjadi lagi ledakan. Jadi saya teringat lagi. Saya harap saya yang terakhir jadi korban karena mungkin luka fisik bisa terobati tapi kalau luka trauma agak susah sembuhnya," kata dia.

Aksi tabur bunga di lokasi ledakan bom bunuh diri di depan Starbucks, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat [suara.com/Bagus Santosa]

Korban Bom Gereja Surabaya

Hal yang serupa juga dialami oleh perempuan bernama Desmonda Paramartha. Bedanya, Desmonda tidak terlalu mengalami trauma yang mendalam pasca menjadi korban ledakan bom di Gereja Katolik, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur pada Minggu 13 Mei 2018 lalu.

Desmonda mengemukakan bahwa tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan sebelum ledakan bom. Semua aktivitas terlihat berjalan dengan normal seperti hari-hari biasanya. Posisi Desmonda dari lokasi ledakan bom juga tidak berjauhan.

"Posisi saya dari jarak ledakan enam sampai tujuh meter. Di parkiran lokasinya," kata Desmonda.

Seingat Desmonda, sesaat sebelum terjadi ledakan, dia sempat memperhatikan situasi yang terjadi di sekitar Gereja. Waktu itu, semua pandangan orang-orang yang berada di sekitar lokasi tertuju pada pengendara sepeda motor yang berusaha masuk ke Gereja. Dengan kecepatan tinggi.

Pihak keamanan gereja yang diketahui bernama Bayu langsung bertindak. Dia mencegat pengendara motor yang ingin masuk ke gereja dengan kecepatan tinggi tersebut. Sehingga, mereka pun harus meregang nyawa. Bom yang diduga dibawa pengendara motor itu diledakkan.

"Pelaku dua orang anak cowok yang pakai motor. Mereka memakai helm. Mas Bayu meninggal karena langsung menghadang pelaku," kata dia.

"Meninggal Mas Bayu dan dua pelaku. Tapi setelah ditelusuri ada enam korban yang meninggal, dan beberapa yang mengalami luka," sambung Desmonda.

Setelah ledakan terjadi, kata Desmonda, situasi di lokasi menjadi kacau. Semua kendaraan motor di sekitar lokasi berjatuhan. Teman-teman Desmonda yang datang bersamanya ke lokasi gereja juga sudah tidak ada di tempat.

Desmonda yang sudah tidak berdaya karena juga menjadi salah satu korban ledakan bom itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Untuk mendapat pertolongan medis. Di sana, dia diopname selama sepuluh hari.

Desmonda Paramartha korban bom bunuh diri di Gereja Katolik, Kota Surabaya, Jawa Timur pada Minggu 13 Mei 2018 / [SuaraSulsel.id / Muhammad Aidil]

Dari hasil pemeriksaan dokter, Desmonda diketahui mengalami sejumlah luka yang cukup parah pada bagian tubuhnya. Antara lain di bagian leher, paha, dan betis sebelah kanan serta pendengaran telinganya berkurang.

"Yang di leher hampir kena nadi, telinga berkurang pendengaran karena ledakan keras sekali. Kalau di kaki nyut-nyutan kalau terlalu lama jalan sampai sekarang. Betis dan paha seperti kena plat motor atau serpihan bom," ujar Desmonda.

Namun, setelah sepekan mendapatkan perawatan kondisi Desmonda berangsur membaik. Dia kemudian diundang ke gereja untuk menceritakan peristiwa secara gamblang terkait ledakan bom itu.

"Di gereja saya disuruh menceritakan kejadian. Ditanya juga masih trauma datang ke gereja?, saya bilang tidak," terang Desmonda.

Desmonda mengaku selama dia dirawat, biaya pengobatannya ditanggung oleh pemerintah setempat. Dia juga hanya dimintai kartu BPJS Kesehatan saat masuk ke rumah sakit untuk dirawat.

"Masuk sudah dapat layanan. Biaya dicover pemerintah. Kompensasi dapat juga. Semua korban yang saya tahu sudah dapat kompensasi," kata dia.

Karena kondisinya yang sudah tidak terlalu mengkhawatirkan, Desmonda pun akhirnya dirawat jalan. Dengan syarat harus melakukan kontrol di rumah sakit selama tiga bulan.

"Pulih tanpa perawatan psikolog. Karena tidak terlalu parah. Sekarang saya sehat walaupun pendengaran sedikit menurun," kata dia.

"Saya sudah enak cerita itu kurang lebih satu atau dua bulan setelah kejadian," ujarnya.

Aksi simpati bom Surabaya.

Desmonda tidak memungkiri bahwa dirinya memang marah hingga bergejolak kepada pelaku teroris yang telah membuatnya menjadi korban ledakan bom.

Namun, Desmonda berusaha keras memaafkan pelaku. Sebab, dia menilai pelaku akan merasa gembira jika telah berhasil membuat korbannya trauma dan dendam.

"Saya memaafkan karena kalau tidak saya masih merasa sakit. Dan saya merasa semua agama mengajarkan kasih sayang. Jadi saya memaafkan walaupun sulit," katanya.

Kontributor : Muhammad Aidil

Load More