Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 27 April 2021 | 15:38 WIB
Pesantren An Nahdlah Makassar di kawasan padat penduduk Jalan Tinumbu Lorong IVa, Kota Makassar / [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Dulu, Ustadz Harisah hanya mengajar mengaji dan membaca Alquran ke anaknya, Afifuddin. Namun, seiring berjalannya waktu, warga sekitar juga tertarik untuk mengikutkan anaknya belajar agama.

Antusiasme anak-anak untuk belajar agama pun membludak. Rumah Ustadz Harisah tak mampu untuk menampung mereka.

Lalu Ustadz Harisah memindahkan proses mengaji dan belajar membaca Alquran ke masjid Qubah Bontoala. Tak jauh dari rumahnya.

Seiring berjalannya waktu, Ustadz Harisah membuat pesantren secara bertahap. Saat ini ada tiga gedung milik An Nahdlah yang digunakan.

Baca Juga: 8 Ribu Tenaga Kontrak di Kota Makassar Akan Dites Ulang Kemampuannya

Namun, tidak seperti belajar pada umumnya, An Nahdlah lebih banyak mengajarkan soal kitab kuning, sebagai mata pelajaran pokok. Tradisinya lebih akrab dengan ajaran Nahdlatul Ulama.

Firdaus mengaku ada tantangan sosial tersendiri bagi para santri karena lokasi pesantren. Namun, mental dan psikologi mereka dididik sejak dini.

"Sehingga tidak membuat para santri terpengaruh dengan kehidupan sekitarnya. Dan para santri kita juga paham soal lingkungan sekitar," kata Firdaus.

Malahan para santri punya pengaruh besar ke warga sekitar. Sebagian warga yang dulunya tidak peduli, lambat laun mulai berubah lebih baik.

"Jadi kita didik mereka berperilaku santun. Siapa saja yang ditemui (warga) di sekitar sini mereka sapa, ucapkan salam," ujarnya.

Baca Juga: Nurhidayat Dipanggil Timnas Indonesia, Warganet Curiga Pemain Titipan

Para santri juga dievaluasi dengan ketat. Mereka yang terindikasi terpengaruh hal buruk dari luar bisa dikeluarkan.

Load More