Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Sabtu, 10 April 2021 | 15:12 WIB
Ilustrasi siswa putus sekolah/ [google]

SuaraSulsel.id - Pandemi Covid-19 berdampak buruk terhadap sejumlah pelajar di Kota Makassar. Dari masalah kesehatan hingga perilaku sosial.

Peristiwa ini terjadi di salah satu SMA Negeri di Kota Makassar. Berada di pinggiran kota, membuat siswa di sekolah ini jauh dari pantauan.

Sampai akhirnya Kepala Sekolah menyadari, adanya dampak pandemi Covid-19 terhadap perilaku siswanya. Sekolah pun mendeteksi ada 75 siswa yang terdeteksi bermasalah selama masa pandemi Covid-19.

Baik bermasalah secara kesehatan, maupun secara sosial. 75 orang yang terdeteksi itu sedang dalam pembinaan guru sekolah.

Baca Juga: Telusuri Aliran Uang ke Nurdin Abdullah, KPK Periksa Anggota DPRD Makassar

Masalahnya macam-macam. Ada yang terpaksa kawin paksa, jadi buruh, ada siswa yang kini tidak jelas tempat tinggalnya, dan jadi kurir narkoba.

"Bahkan ada yang jadi wanita penghibur malam. Maaf, kalau orang di sini (Makassar) bilangnya cabe-cabean," ujar Kepala Sekolah Mirdan, baru-baru ini.

Kasus seperti ini, kata Mirdan, terjadi setahun terakhir. Para siswa tersebut juga sudah dikunjungi pihak sekolah.

Mirdan mengaku paham betul, sebagian dari mereka terpaksa melakukan itu karena masalah ekonomi.

"Bahkan ada beberapa anak yang tidak kembali ke rumahnya. Bayangkan, ada dari mereka yang dari malam sampai subuh keliling jual nasi kuning," jelasnya.

Baca Juga: Pelajar di Lampung Pesan Tembakau Gorila untuk Dipakai saat Idul Fitri

Kepada kepala sekolah, sebagian siswa mengaku, mereka terpaksa berhenti sekolah. Masalah belajar online jadi alasannya.

Banyak yang tidak punya gawai untuk belajar daring. Masalah lain soal kuota internet, apalagi sebelum Kementerian Pendidikan membagikan kuota internet secara cuma-cuma.

"Kami fasilitasi, mereka tidak boleh berhenti (belajar). Kami datangi satu-satu, tanyakan masalahnya apa," jelas Mirdan.

Pihak sekolah kemudian memberikan dispensasi. Biar bagaimana pun, kata Mirdan, mereka harus tetap sekolah.

Siswa yang tidak punya HP dibelikan oleh pihak sekolah. Ditanggung internetnya tiap minggu sebanyak 2 giga byte. Namun, tetap diawasi.

Kuota yang dibagikan khusus untuk belajar online tidak bisa diakses untuk browsing aplikasi lain.

75 anak ini kini dalam pembinaan. Apalagi sekolah tempat mereka belajar sudah dinobatkan menjadi sekolah ramah anak. Setidaknya, kata Mirdan, mereka bisa lulus SMA dulu.

Mirdan mengatakan, kasus seperti ini kemungkinan tidak menimpa sekolahnya saja. Bisa jadi di sekolah lain di Makassar juga mengalami hal yang sama.

Makanya, pihak sekolah dan orang tua perlu peka. Mirdan berharap rencana sekolah tatap muka bisa menekan masalah sosial di tingkat remaja.

Apalagi bagi mereka yang masih berstatus siswa. Edukasi soal kesehatan mental juga dinilai sangat penting dilakukan pihak sekolah.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menunjukkan data yang sama. Tren prosistusi di kalangan pelajar selama pandemi meningkat.

Kepala UPT Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pemprov Sulsel Meysi Papayungan mengatakan, tren protistusi online di Sulawesi Selatan meningkat setahun terakhir. Tepatnya selama pandemi Covid-19.

Hingga Maret 2021, ada 45 kasus yang dilaporkan. Dominan pelaku dan korban adalah pelajar.

Menurutnya, masalah perekonomian selama pandemi dan masifnya penggunaan media sosial jadi salah satu alasan, kenapa kasus protistusi kian marak.

Apalagi remaja dinilai paling aktif bermedia sosial. Sehingga transaksi secara online juga kian masif.

Pihaknya mendapati rata-rata mereka yang terlibat adalah masyarakat yang perekonomiannya rendah. Namun, kebanyakan protistusi online sulit untuk ditindaklanjuti.

Minimnya saksi dan alat bukti, kata Meysie, kadang menyulitkan pihaknya dan kepolisian untuk mengusut kasus ini.

"Belum lagi, korban kadang malu untuk melapor,".

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More