SuaraSulsel.id - Setiap manusia pasti pernah merasakan kesedihan. Tapi waspada bila ternyata yang terjadi adalah gangguan kesehatan mental.
Psikolog klinis dewasa Muthmainah Mufidah dari Universitas Indonesia menjelaskan, rasa sedih yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari biasanya tidak terlalu berpengaruh kepada aktivitas.
"Kalau down sehari-hari biasanya kita masih tetap bisa mengerjakan tugas atau kegiatan sehari-hari kita, meski mungkin ada perubahan kecepatan atau jumlah," kata Mufidah kepada ANTARA, Jumat 26 Maret 2021.
Manusia yang bersifat dinamis pasti pernah mengalami naik turun dalam kehidupan. Ada hal-hal yang membuat hati berbunga-bunga dan bahagia, tapi di sisi lain ada juga kejadian yang membuat murung, sedih atau marah.
Hati-hati bila rasa sedih yang melanda sudah berdampak terhadap produktivitas dan kehidupan sehari-hari, terutama bila sudah terjadi selama dua pekan berturut-turut.
Segera minta bantuan profesional kepada psikolog atau psikiater agar masalah segera ditangani.
Mana yang lebih dulu didatangi, apakah psikolog dan psikiater?
"Sebetulnya tidak masalah yang mana duluan kok," ucapnya.
Co-founder Arsanara Development Partner mengatakan keduanya punya tujuan yang sama, membantu orang mengatasi masalah kesehatan mental. Jika dibutuhkan, keduanya bisa saling rujuk.
Baca Juga: Tingkatkan Produktivitas, Ini 5 Langkah Menjaga Kesehatan Mental di Kantor
Perbedaan yang utama adalah psikiater adalah dokter yang punya wewenang untuk memberikan resep obat kepada pasien bila memang dibutuhkan.
Sementara itu, psikolog lebih fokus kepada aspek-aspek perubahan tingkah laku. Psikolog juga fokus kepada pengelolaan pola pikir dan perasaan.
Namun sebetulnya Anda tidak perlu harus menunggu munculnya gangguan kesehatan mental sebelum pergi ke psikolog atau psikiater. Berkonsultasi bisa dilakukan kapan saja, bahkan ketika Anda tidak merasa punya masalah.
"Bisa untuk tujuan mengembangkan diri," imbuh dia.
Sebuah laporan Risiko Global 2021 (Global Risks Report 2021) yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) bersama Zurich Insurance Group (Zurich) menemukan, sebanyak 80 persen anak muda di seluruh dunia tercatat mengalami penurunan kondisi kesehatan mental selama pandemi COVID-19.
Laporan yang menyoroti risiko dampak pandemi COVID-19 pada kesehatan mental generasi muda itu juga menemukan, kekecewaan yang dirasakan anak muda (youth disillusionment) dan memburuknya kesehatan mental (mental health deterioration) sebagai risiko global yang paling terabaikan selama pandemi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
 - 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
 - 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
 - 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
 - 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
 
Pilihan
- 
            
              Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
 - 
            
              Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
 - 
            
              Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
 - 
            
              5 HP RAM 12 GB Paling Murah, Spek Gahar untuk Gamer dan Multitasking mulai Rp 2 Jutaan
 - 
            
              Meski Dunia Ketar-Ketir, Menkeu Purbaya Klaim Stabilitas Keuangan RI Kuat Dukung Pertumbuhan Ekonomi
 
Terkini
- 
            
              Pandji Pragiwaksono Minta Maaf ke Masyarakat Toraja, Siap Jalani Proses Hukum
 - 
            
              BREAKING: Rektor UNM Diberhentikan! Menteri Turun Tangan Usut Kasus Pelecehan
 - 
            
              Semua Wilayah Sulsel Rawan Banjir? BPBD Ungkap Fakta Mengejutkan!
 - 
            
              Pengusaha Makassar Laporkan Wakil Wali Kota ke Polisi, Ini Kasusnya
 - 
            
              Komentar 3 Calon Rektor Unhas Usai Pemilihan, Siapa Bakal Taklukkan MWA?