Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Senin, 08 Maret 2021 | 15:07 WIB
Bendungan Karalloe di perbatasan Kabupaten Gowa dan Jeneponto. Tepatnya di Desa Garing dan Desa Datara, Kecamatan Tompobulu; dan Desa Taring, Kelurahan Tonrorita, Kecamatan Biring Bulu, Kabupaten Gowa / [Foto: Humas Pemprov Sulsel]

SuaraSulsel.id - Pengawasan ketat terhadap sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di Sulawesi Selatan mulai dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. KPK tidak ingin ada persoalan lagi terhadap pengadaan barang dan jasa.

Pelaksana Harian (Plh) Direktur Korsupgah Wilayah VIII KPK Kombespol Yudhiawan mengatakan, KPK akan mengawasi tender proyek di Sulsel. Ini adalah bagian dari Monitoring Center for Prevention (MCP).

"Nanti tanggal 15 dan 16 kita di Sulsel. Kita bahas semua, termasuk soal proyek-proyek," kata Yudhiawan saat dihubungi, Senin 8 Maret 2021.

Yudhiawan tak menyebutkan secara detail proyek apa saja yang akan disupervisi. Namun, beberapa yang mandek dalam pantauan.

Baca Juga: KPK Usut Kasus Tanah di Cipayung, Siapa yang Bakal jadi Tersangka?

Kata Yudhi, ini yang perlu dimonitoring dan dievaluasi. Selain itu, soal permasalahan aset yang bermasalah.

"Pokoknya semua proyek (mandek). Begitu pun soal pemanfaatan aset yang selama ini tidak sesuai peruntukannya," tambahnya.

Yudhiawan mengaku lelang proyek di daerah bakal diawasi. Untuk daerah dengan anggaran pengadaan barang dan jasa terbesar di Indonesia. Termasuk untuk Sulsel.

Tim Korsupgah KPK, Fritz M Wongso menambahkan MCP adalah capaian angka sebagai tolak ukur pelaksanaan pemerintahan yang baik. Capaian Pemprov Sulsel pun dinilai belum maksimal.

Dari catatan KPK, Sulsel berada pada posisi yang belum aman untuk capaian MCP. Posisinya pada angka 55,52.

Baca Juga: KPK: Kepala Dinas Paling Banyak Tak Taat Lapor Harta Kekayaan

Sementara pihaknya mengharapkan Pemprov Sulsel setidaknya ada pada posisi aman, di atas 60. Bahkan jika perlu 70-80.

Ada beberapa penyebab rendahnya capaian Sulsel untuk kategori pelaksanaan pemerintahan yang baik. Salah satunya pada PTSP.

Dari hasil laporan MCP, kata Fritz, secara administrasi mencapai angka 65. Namun ternyata ketika ditinjau ke lapangan, sangat rendah. Masih banyak masyarakat yang harus berhubungan langsung untuk perizinan surat.

Kemudian masyarakat, masih harus bertemu dengan pejabat teknis. Padahal sistem tersebut dilakukan secara daring.

Pihaknya pun tak ingin dikatakan menghakimi sistem pelayanan, melainkan melakukan pembenahan agar kinerjanya lebih maksimal.

"Mungkin waktu pelaporannya bagus. Pas kmi datang, ada meja yang kosong, meja yang aneh-aneh atau yang lain. Soal rapor merah atau tidak, ya nanti dilihat lah," tukasnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More