Muhammad Yunus
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:01 WIB
Pertukaran pengetahuan dan pembelajaran Berani II Sulsel yang digelar bersama YASMIB (Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi, Kamis, 18 Desember 2025 [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]
Baca 10 detik
  • Prevalensi perkawinan anak di Sulawesi Selatan pada 2024 mencapai 8,09%, melebihi rata-rata nasional dan berdampak pada pendidikan serta kesehatan.
  • Penurunan angka dispensasi kawin dikhawatirkan mendorong peningkatan praktik perkawinan siri yang tidak tercatat secara resmi.
  • Data menunjukkan disparitas besar antara jumlah kehamilan anak dengan permohonan dispensasi nikah di berbagai kabupaten/kota Sulsel.

SuaraSulsel.id - Angka perkawinan anak di Sulawesi Selatan masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Meski menunjukkan tren fluktuatif, prevalensinya tetap berada di atas rata-rata nasional dan menyimpan dampak sosial yang luas.

Mulai dari putus sekolah, kemiskinan, hingga tingginya risiko kematian ibu dan anak.

Pemerintah mencatat, prevalensi perkawinan anak di Sulsel pada 2022 mencapai 9,33 persen. Angka itu sempat turun menjadi 7,48 persen, namun kembali naik menjadi 8,09 persen pada 2024.

Persentase tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang berada di angka 5,90 persen.

Kepala Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Sulawesi dan Maluku, Henky Wijaya, menyebut Sulawesi Selatan kini berada di peringkat ke-11 nasional untuk angka perkawinan anak, dengan prevalensi 8,09 persen.

"Ini masih mengkhawatirkan, karena dampaknya sangat panjang dan lintas sektor," kata Henky dalam kegiatan pertukaran pengetahuan dan pembelajaran Berani II Sulsel yang digelar bersama YASMIB (Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi, Kamis, 18 Desember 2025.

Meski demikian, Henky mengungkapkan adanya penurunan jumlah dispensasi kawin yang diajukan ke pengadilan agama di Sulsel.

Pada 2024 tercatat 903 kasus, sementara pada 2025 menurun menjadi 885 kasus.

Baca Juga: Kejaksaan Periksa Anak Buah Tito Karnavian: Dugaan Korupsi Bibit Nanas Rp60 Miliar

Namun, penurunan dispensasi ini tidak serta-merta menjadi kabar baik.

Henky mengingatkan, pengetatan dispensasi justru berpotensi mendorong praktik perkawinan siri yang tidak tercatat secara hukum.

"Ketika dispensasi diperketat, perkawinan anak tidak otomatis hilang. Yang terjadi justru pergeseran ke perkawinan siri. Ini yang sedang kami koordinasikan dengan Kemenag dan pemerintah desa," jelasnya.

Menurut Henky, salah satu faktor utama pendorong perkawinan anak adalah putus sekolah.

UNICEF menilai, peluang anak yang sudah menikah di usia dini untuk kembali mengenyam pendidikan sangat kecil.

"Ini pertanyaan yang paling sulit kami jawab. Apakah anak yang sudah menikah masih punya harapan untuk sekolah? Sangat kecil," ujarnya.

Ia mencontohkan hasil diskusi di Kabupaten Bone terkait program pendidikan kejar paket B dan C.

Mayoritas pesertanya adalah janda usia muda yang menikah di usia anak.

"Mereka punya cita-cita besar. Ingin jadi perawat, polisi, PNS, tapi realitasnya kejar paket tidak instan. Durasi belajarnya sama dengan sekolah reguler. Ditambah tekanan sosial yang besar, dorongan untuk menikah lagi, dan kondisi ekonomi yang berat," kata Henky.

UNICEF juga menyoroti dampak serius perkawinan anak terhadap kesehatan.

Risiko kematian ibu melahirkan pada usia di bawah 18 tahun disebut lima kali lebih tinggi dibandingkan ibu dewasa.

"Bukan hanya karena kondisi fisik belum siap, tapi juga karena banyak perkawinan tidak tercatat, sehingga akses ke layanan kesehatan menjadi terbatas," ungkap Henky.

Masalah lainnya adalah hak sipil anak. Banyak anak hasil perkawinan siri tidak memiliki akta kelahiran, yang kemudian menghambat akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga bantuan sosial.

"Identitas anak menjadi buram. Di akta lahir hanya tercantum nama ibu, bahkan dalam banyak kasus anak sama sekali tidak tercatat," katanya.

Data kehamilan anak di Sulsel menunjukkan disparitas yang tajam dengan jumlah dispensasi kawin.

Misal, di Kota Makassar 331 anak hamil, 9 dispensasi nikah, Kabupaten Gowa 304 anak hamil, 8 dispensasi nikah, Bone 241 anak hamil, 10 dispensasi nikah, Takalar 204 anak hamil, 0 dispensasi nikah.

Kemudian, Jeneponto 190 anak hamil, 7 dispensasi nikah, Sidrap 173 anak hamil, 132 dispensasi nikah, Pangkep 138 anak hamil, 10 dispensasi nikah, Bulukumba 130 anak hamil dan 7 dispensasi nikah.

Lalu, Pinrang ada 126 anak hamil, 21 dispensasi nikah, Luwu Utara 122 anak hamil, 14 dispensasi nikah, Luwu Timur 116 anak hamil, 11 dispensasi nikah, Bantaeng 102 anak hamil, 1 dispensasi nikah, Luwu 99 anak hamil, 6 dispensasi nikah, Kepulauan Selayar 96 anak hamil, 0 dispensasi nikah, Maros 85 anak hamil, 3 dispensasi nikah, Sinjai 82 anak hamil, 22 dispensasi nikah.

Parepare 59 anak hamil, 18 dispensasi nikah, Tana Toraja 52 anak hamil, 3 dispensasi nikah, Enrekang 52 anak hamil, 33 dispensasi nikah.

Toraja Utara 50 anak hamil, 0 dispensasi nikah, Barru 47 anak hamil, 20 dispensasi nikah, Soppeng 35 anak hamil, 30 dispensasi nikah dan Palopo: 10 anak hamil, 8 dispensasi nikah.

Ketimpangan ini menunjukkan masih banyak perkawinan anak yang terjadi tanpa tercatat secara hukum.

Direktur YASMIB Sulawesi, Rosniaty Azis mengatakan kegiatan Berani II Sulsel bertujuan merumuskan rekomendasi penguatan kebijakan dan program pencegahan perkawinan anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

"Koordinasi antar lembaga harus diperkuat. Isu perkawinan anak tidak berdiri sendiri, tapi terkait erat dengan stunting, kemiskinan, dan putus sekolah," ujar Rosniaty.

Ia juga menekankan pentingnya pembenahan data. Selama ini, pemerintah masih banyak bertumpu pada data dispensasi kawin dari pengadilan, sementara fakta di lapangan menunjukkan jumlah kehamilan anak jauh lebih tinggi.

"Artinya, banyak perkawinan anak yang tidak tercatat. Ini seperti bola salju dan menjadi ancaman serius, apalagi menjelang Indonesia Emas 2045," katanya.

Secara nasional, tercatat 54.387 permohonan dispensasi kawin diajukan sejak 2022. Sebanyak 26 persen karena kehamilan, 69 persen karena pacaran, dan 5 persen karena faktor ekonomi.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More