- Akhir hidup seorang Datu Suppa, tokoh karismatik yang namanya kini kembali disebut sebagai calon pahlawan nasional
- Masyarakat Suppa perlahan berani menentang cengkeraman pemerintah kolonial Hindia Belanda di Parepare dan sekitarnya
- Tubuh Andi Makkasau kemudian ditemukan warga Marabombang terdampar di pantai. Masih dalam keadaan terikat.
Ia memelopori berdirinya Partai Sarekat Islam di Parepare pada 1927, lalu Sumber Darah Rakyat (SUDARA) pada 1944, dan Penunjang Republik Indonesia (PRI).
Dua minggu setelah proklamasi kemerdekaan, ia mendirikan Pandu Nasional, cikal bakal Pemuda Nasional Indonesia (PNI) sebagai wadah perjuangan generasi muda.
Pada 15 Oktober 1945, ia turut menandatangani Deklarasi Jongayya, bentuk dukungan rakyat Sulawesi terhadap kemerdekaan Indonesia.
Dua bulan kemudian, ketika pasukan Sekutu dan NICA kembali, Andi Makkasau memimpin Konferensi Parepare pada 1 Desember 1945.
Dalam pertemuan itu diputuskan untuk mendukung Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi dan menolak kembalinya Belanda.
Namun sejarah mencatat jalan kemerdekaan selalu berdarah.
Saat Raymond Westerling memimpin operasi pembersihan di Sulawesi Selatan pada akhir 1946, pasukan Andi Makkasau menjadi salah satu yang pertama mengangkat senjata.
Di Asuppo, mereka menghadang pasukan Belanda. Pertempuran itu tak seimbang. Persenjataan mereka terbatas, jumlahnya pun kalah jauh.
Tapi, Andi Makkasau tetap bertahan. Hingga akhirnya tertangkap. Ia disiksa dan dipenjara.
Baca Juga: Kapan Soeharto Diumumkan Sebagai Pahlawan Nasional? Ini Jawaban Menteri Sosial
Namun, semangatnya tak padam. Setelah dibebaskan, ia kembali mengorganisir perlawanan.
Kedua kalinya tertangkap, ia dipenjara di Sawitto, Pinrang, bersama 25 pengikutnya.
Pada 26 Februari 1947, ia dan dua tahanan lainnya kemudian diculik oleh militer Belanda dan digiring ke lapangan Afdeling Parepare.
Di sana, tangan mereka diikat dan digantung di tiang gawang. Perlakuan yang dianggap sangat mencederai martabat bangsawan Bugis.
Keesokan harinya, Andi Makkasau bersama dua orang lainnya dibawa ke tengah laut Suppa. Mereka diikat dengan pemberat besi, lalu ditenggelamkan hidup-hidup.
Tak satu pun peluru ditembakkan. Konon, para tentara Belanda pun tunduk pada keyakinan lokal bahwa darah raja tak boleh menodai tanah.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
UPDATE Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Selangkah Lagi Kunci Runner-up
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
Terkini
-
Ini Daftar Daerah di Sulsel dengan Tingkat Kehamilan Anak Tertinggi
-
Kejaksaan Periksa Anak Buah Tito Karnavian: Dugaan Korupsi Bibit Nanas Rp60 Miliar
-
Ledakan Guncang Kafe di Makassar, Ini Dugaan Awal
-
Jeritan Ibu-Ibu Korban Banjir Minta Cangkul dan Sekop ke Jusuf Kalla
-
Stadion Untia Makassar Jadi Proyek Strategis Tahun 2026