Muhammad Yunus
Selasa, 07 Oktober 2025 | 12:22 WIB
Rangga, Pelajar di SD Inpres Borongbulo, Kecamatan Bontolempangan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan memperlihatkan singkong bakar sebagai bekalnya di sekolah. Kisahnya viral di media sosial [Suara.com/Istimewa]
Baca 10 detik
  • Singkong rebus dibungkus rapat menggunakan plastik putih jadi bekal
  • Rangga tinggal bersama kakeknya di rumah panggung yang mulai lapuk
  • Pihak sekolah berharap suatu hari dapur bergizi juga berdiri di pelosok desa

Di kota-kota, program makan bergizi gratis mulai ramai diperbincangkan. Foto anak-anak berseragam menikmati nasi dan lauk bergizi menghiasi laman berita.

Namun di pedalaman seperti Borongbulo, program itu masih sebatas wacana yang ditunggu.

Pihak sekolah hanya bisa berharap suatu hari dapur bergizi juga berdiri di pelosok. Rangga mungkin tak tahu apa itu program makan bergizi gratis. Di rumahnya tidak ada televisi. Ia juga tidak punya gadget.

Tapi, setiap pagi ia tetap datang ke sekolah. Dengan berpakaian lusuh, ia membawa bekal sederhana dari tangan kakeknya.

Kisah Rangga hanyalah satu dari ratusan ribu potret anak miskin ekstrem di Indonesia yang masih berjuang menempuh pendidikan di tengah keterbatasan.

Data terbaru yang dirilis Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, pada September 2025 mencatat ada 422.619 anak dari keluarga miskin ekstrem (desil 1) yang tidak bersekolah.

Sementara itu, dari total 5,36 juta anak usia sekolah di kelompok masyarakat termiskin, sebanyak 4,93 juta di antaranya masih bersekolah. Termasuk Rangga yang tetap setia datang ke sekolah meski hanya berbekal ubi bakar di tangan.

Angka itu menunjukkan dua sisi wajah kemiskinan anak di Indonesia. Masih banyak yang tertinggal, sementara ada pula yang tetap berjuang bertahan dalam sistem pendidikan yang belum sepenuhnya ramah bagi yang miskin.

Di Sulawesi Selatan sendiri jumlah penduduk miskin mencapai 711.770 jiwa. Dengan sekitar 140 ribu anak tercatat putus atau tidak melanjutkan sekolah.

Baca Juga: Cinta Segitiga Anti Mainstream: Pria Ini Nikahi Cinta Pertama & Pilihan Keluarga dalam Waktu 48 Jam

Angka ini menjadi peringatan bahwa akses pendidikan gratis dan merata masih jauh dari tuntas, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Borongbulo, tempat Rangga tinggal.

Pemerintah tengah menyiapkan Program Sekolah Rakyat sebagai salah satu upaya memperluas akses pendidikan bagi anak-anak kurang mampu.

Program ini diharapkan bisa menjadi jembatan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem untuk tetap bersekolah tanpa terbebani biaya.

Namun, bagi mereka yang hidup di pelosok, kebijakan di atas kertas sering kali tak semudah itu.

Di tengah ambisi besar pemerintah untuk menghapus kemiskinan ekstrem, kisah kecil seperti Rangga menjadi cermin bahwa persoalan tak hanya soal angka, tapi juga soal jarak, akses, dan kepedulian.

Program makan bergizi gratis yang ramai diperbincangkan, misalnya, belum sepenuhnya menjangkau sekolah-sekolah terpencil yang justru paling membutuhkan.

Load More