Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Rabu, 26 Maret 2025 | 12:47 WIB
Ilustrasi ChatGPT pengusaha hotel melakukan PHK ke karyawan [SuaraSulsel.id/Muhammad Yunus]

SuaraSulsel.id - Pengusaha hotel di kota Makassar, Sulawesi Selatan, tak bisa berbuat banyak.

Mereka terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan akibat adanya efisiensi anggaran.

Kebijakan efisiensi anggaran yang diinstruksikan Presiden Prabowo Subianto sejak 22 Januari 2025 lalu memunculkan dilema.

Di satu sisi, upaya ini cukup positif karena bisa menghemat keuangan negara sekaligus mencegah pemborosan.

Baca Juga: Pemprov Sulsel Siapkan Rp32 Miliar untuk Perbaikan Jalan Rusak Aroepala - Hertasning

Namun, bagi daerah tertentu, kebijakan tersebut memukul sektor-sektor ekonomi yang selama ini bergantung pada pos belanja yang dipangkas.

Kota Makassar misalnya. Selama ini, daerah yang identik dengan sebutan kota Daeng ini dikenal sebagai pusat kegiatan meetings, incentives, conventions, dan exhibitions atau MICE.

Baik itu dari kementerian, lembaga, ataupun instansi pemerintahan tingkat pusat dan daerah.

Level acaranya pun macam-macam. Mulai dari seminar, workshop, hingga konferensi internasional.

Namun, semenjak anggaran kegiatan pemerintah di hotel dihapuskan, industri pariwisata di kota Makassar mulai kolaps.

Baca Juga: Pos Polisi Makassar Dilempar Bom Molotov

Banyak dari pengusaha yang terpaksa mem-PHK karyawan untuk mengurangi tingginya biaya operasional.

"Kalau ditanya sampai kapan bertahan, saya harus sebut hanya dua bulan aja udah ga bisa," kata Ketua PHRI Sulsel, Anggiat Sinaga, Selasa, 25 Maret 2025.

Anggiat menjelaskan tingkat hunian atau okupansi hotel di Sulsel saat ini tercatat hanya ada di angka rata-rata 20 persen.

Hal tersebut membuat pengusaha perhotelan ngos-ngosan menutupi biaya operasional.

"Kalau hitungan di bawah 20 persen okupansi sudah pasti kapal lagi oleng," jelasnya.

Ia mengaku sejak efisiensi diberlakukan, mereka tidak lagi berharap pada kegiatan perjalanan dinas atau kunjungan kerja.

Hotel di Sulsel hanya memanfaatkan sosial event yang jumlahnya masih sangat terbatas.

Ruang-ruang pertemuan di hotel pun dimatikan karena tak ada kegiatan. Selama ini, ruangan itu diisi oleh acara-acara pemerintahan.

Akibat penurunan pendapatan secara drastis, PHRI di Sulsel mencatat beberapa hotel sudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan hingga 30 persen.

Jika pemerintah tidak bertindak, pihaknya khawatir PHK di sektor perhotelan masih bakal terus berlangsung.

CEO Phinisi Hospitality menambahkan, pihaknya hanya memohon agar supaya 50 persen anggaran yang tersisa bisa dikucurkan.

Menurutnya, perhotelan adalah salah satu sektor yang bisa membuat perekonomian bergerak.

"Kami salah satu penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebesar. Jadi, kucurkan 50 persen anggaran itu biar bergerak. Tolonglah pemerintah," keluhnya.

Indonesia Hotel General Manager Association atau IHGMA Sulsel, Darwinsyah Sandolong juga menyebutkan bahwa perhotelan di Sulsel harus berpikir keras untuk bisa tetap bertahan.

Pihaknya harus otak atik strategi menyikapi kondisi ini. Mereka bahkan banting harga, tapi tak berdampak.

"Kita berpikir bagaimana bertahan hidup. Daya belanja sangat minim, walaupun banting harga itu tidak berdampak," keluh Darwinsyah.

Ia mengungkapkan, para pengusaha juga harus banting tulang untuk menggaji karyawan.

Beberapa perusahaan yang tidak mampu pun terpaksa harus mengambil keputusan pahit yakni mengurangi pekerja.

"Bahkan ada pengusaha yang sampai sudah jual mobil bus miliknya," ujarnya.

Sementara itu, pengurus Asosiasi Travel Indonesia di Sulsel, Abdullah Bazergan menilai dampak efisiensi anggaran akan sangat luas.

Bahkan akan terasa lebih berat setelah lebaran Idul Fitri jika tidak ada perubahan kebijakan.

Seperti bakal maraknya perang harga, bahkan dikhawatirkan tidak ada lagi investasi yang masuk di Sulsel.

"Semua terdampak. Termasuk travel agent, hotel dan sebagainya," katanya.

Makanya perlu ada evaluasi untuk dampak kebijakan ini. Pengusaha meminta sebaiknya efisiensi dilakukan secara bertahap agar sektor pariwisata dan perhotelan bisa tetap bernafas.

Kondisi ini juga dikhawatirkan akan mempengaruhi target realisasi dari pajak hotel oleh pemerintah daerah karena adanya penyusutan pendapatan.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More