SuaraSulsel.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat guru paling banyak terlilit utang pinjaman online atau Pinjol ilegal. Jumlahnya mencapai 42 persen.
Data tersebut dipaparkan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK, Friderica Widyasari Dewi, Senin, 11 September 2023.
"Paling mirisnya karena banyak yang pinjol hanya demi gaya hidup. Hanya demi bisa posting di media sosial," ujarnya saat mengedukasi pelaku UMKM dan ibu rumah tangga di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Selain guru, profesi paling tinggi yang terjerat pinjaman online ilegal adalah ibu rumah tangga hingga pelajar. Alasan meminjam ke fintech yang tidak terdaftar bermacam-macam.
Baca Juga: NextGen Teacher Academy Ajak Pendidik Jadi Guru Masa Depan yang Adaptif
"Kenapa terjerat pinjol ilegal? pertama untuk membayar utang. Ini karena rata-rata peminjam itu punya latar belakang ekonomi ke bawah, sementara gaya hidup meningkat," ungkapnya.
OJK juga mencatat jumlah kerugian yang dialami masyarakat akibat investasi pinjaman ilegal mencapai Rp139 triliun.
Literasi dan Edukasi
Oleh karena itu, Friderica menyatakan OJK terus mendorong literasi dan edukasi terkait dengan potensi kejahatan keuangan kepada masyarakat. Khususnya kepada kelompok rentan agar tidak menjadi korban pinjol ilegal.
"Yang paling rentan itu ibu rumah tangga, pelaku UMKM dan pelajar," tuturnya.
Cara mengeceknya dengan mengecek entitas perusahaannya. Apakah ilegal alias tidak terdaftar di OJK. Jika tidak, maka jangan pernah mengajukan pinjaman.
Baca Juga: Berdalih Kesuksesan, Guru Ngaji di Malang Cabuli 4 Siswanya Selama Tiga Tahun
Kemudian, ada juga perusahaan yang legal tetapi ada oknum pelaku kejahatan yang meniru entitas legal tersebut. Seperti tampilan aplikasi, maupun isi pesan dan memanfaatkannya untuk menipu nasabah atau konsumen.
"Kalau ada tawaran pinjaman apapun, silahkan verifikasi ke OJK terlebih dahulu. Cari tahu dengan baik," ungkapnya.
Kasus lain, lanjutnya, perusahaannya legal, tapi perilaku konsumen yang menimbulkan keresahan dan merugikan diri sendiri. Seperti contohnya penggunaan pay later.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing
Berita Terkait
Terpopuler
- Eks Pimpinan KPK: Ustaz Khalid Basalamah Bukan Saksi Ahli, Tapi Terlibat Fakta Kuota Haji
- Jahatnya Sepak Bola Indonesia, Dua Pemain Bidikan Persija Ditikung di Menit Akhir
- 5 Rekomendasi HP Infinix RAM 8 GB Mulai Rp1 Jutaan: Layar AMOLED, Resolusi Kamera Tinggi
- 45 Kode Redeem FF Terbaru 30 Juni: Ada Emote Keren dan Bundle Menarik
- Siapa Lionel de Troy? Calon Bintang Timnas Indonesia U-17, Junior Emil Audero
Pilihan
-
5 Sepatu Lokal Mulai Rp50 Ribuan yang Wajib Dikoleksi, Modis buat Tunjang Aktivitas
-
5 Sepatu Lari Lokal Mulai Rp100 Ribuan, Tampil Stylish Bikin Olahraga Jadi Trendi
-
Demo Zero ODOL, Menko Airlangga: Semua Aspirasi Kita Tampung!
-
Gara-gara Keributan Antar Kampung, Sekolah di Mataram Ini Hanya Dapat 2 Siswa
-
PMI Manufaktur RI Anjlok, Menko Airlangga: Industriawan Lagi Pesimistis!
Terkini
-
SPMB Jalur Calo? Dinas Pendidikan Makassar Beri Jawaban Tegas
-
Produktivitas Klaster Susu Ponorogo Meningkat Berkat Dukungan BRI
-
Bom Ikan Meledak Tewaskan Pemilik Rumah di Bulukumba
-
Siapa Pelaku Penembakan Misterius di Gowa dan Bone?
-
Raih 15 Penghargaan Sekaligus, BRI Jadi Perusahaan Publik dengan Peringkat Tertinggi di Indonesia