SuaraSulsel.id - Anggota DPRD Sulawesi Selatan mulai rajin melaporkan harta kekayaannya. Hal tersebut diketahui dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN.
Dari hasil penelitian Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), diketahui tingkat kepatuhan LHKPN anggota DPRD Sulsel meningkat.
Sebagai contoh pada Komisi D yang membidangi pembangunan. Dari 17 anggota, hanya 8 orang yang melaporkan LHKPN-nya pada tahun 2019 dan 2020.
Namun angka kepatuhan kemudian meningkat menjadi 12 orang pada tahun 2021. Atau peningkatannya sekitar 70,6 persen.
"LHKPN ini merupakan upaya pencegahan korupsi dan setiap pejabat publik wajib melaporkan hartanya sesuai amanat UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi," ujar Direktur Eksekutif Yasmib Sulawesi Rosniaty Azis pada diskusi publik, Senin 23 Maret 2023.
Kendati laporan LHKPN legislator meningkat, tapi menurut Rosniaty ada banyak pelanggaran administrasi yang dilakukan anggota DPRD.
Mereka yang dipercaya mewakili suara rakyat berpotensi terlibat dalam kepentingan bisnis.
Salah satu fakta diantaranya terkait perizinan salah satu perusahaan di Kabupaten Luwu Timur. Perusahaan tersebut tidak punya izin penggunaan kawasan hutan atau IPPKH untuk ekplorasi nikel, tapi tetap beroperasi.
Hal ini dikuatkan dalam dokumen Amdal sebelum addendum, dimana tidak terlampir IPPKH pertambangan untuk eksplorasi.
Baca Juga: Pemprov Sulsel Kembali Anggarkan Rp73,2 Miliar Untuk Pembangunan Jalan Takkalasi - Bainange - Lawo
Dalam dokumen tersebut juga tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa perusahaan itu telah berizin.
"Mereka baru mendapat IPPKH pada tahun 2012. Jadi selama melakukan aktivitas eksplorasi, diduga kuat perusahaan ini tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan," ungkap Rosniaty.
Setelah ditelusuri, ternyata salah satu anggota DPRD dekat dengan petinggi di perusahaan tersebut. Disinilah, kata Rosniaty, munculnya konflik kepentingan anggota dewan dengan pengusaha.
"Ini hanya salah satu kasus. Namun di sini menunjukkan bahwa kewenangan yang dimiliki pejabat publik justru dijadikan momentum mencari keuntungan," bebernya.
Padahal, dalam UU nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan disebutkan bahwa penyelenggara negara tidak boleh memasukkan unsur kepentingan dalam pembuatan keputusan. Karena dapat mempengaruhi kualitas keputusan itu sendiri.
Menurut Rosniaty, penyebab terjadinya konflik kepentingan wakil rakyat karena hubungan afiliasi yang dimilikinya dengan pihak tertentu. Bisa karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau pertemanan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
Terkini
-
Taufan Pawe Usul Peradilan Khusus Pemilu: 14 Hari Penyidikan Terlalu Singkat
-
Trans Sulawesi Jalur 'Hitam' Pupuk Subsidi? Polda Sulbar Amankan Ratusan Karung
-
Kisah 6 Orang Makassar Tewaskan 300 Tentara di Thailand
-
Hamil Muda Jualan Skincare Ilegal, IRT di Kendari Terancam 12 Tahun Penjara
-
902 Siswa Disabilitas Dapat Bantuan Tabungan Pendidikan dari Gubernur Sulsel