SuaraSulsel.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI merekomendasikan pemerintah dan DPR RI, untuk mengkaji ulang Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"RUU Perubahan Kedua UU ITE perlu menggeser orientasi dari pengekangan hak kebebasan berekspresi ke orientasi perlindungan hak kebebasan," kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis 28 Juli 2022.
Pertama, Komnas HAM merekomendasikan agar memasukkan asas non diskriminasi sebagai asas penting di dalam RUU ITE. Kedua, pembentuk RUU ITE perlu mencantumkan pasal khusus tentang pembatasan yang sah dan proporsional.
Tujuannya, kata dia, agar menjadi dasar bagi penegak hukum dalam menyikapi sejauh mana laporan atas suatu kasus memenuhi kriteria sebagai tindak pidana atau bukan. Selanjutnya, menghapus rumusan pasal tentang pencemaran nama baik dalam RUU ITE.
Sebab, kata dia, hal itu berpotensi membatasi hak kebebasan berekspresi secara berlebihan ("over limitation"). Jika pasal tentang pencemaran nama baik dipertahankan, maka definisi atau unsur pencemaran nama baik harus diuraikan secara jelas.
Baik itu dari unsur subjektif, objektif, maupun akibat yang ditimbulkan. Selain itu, perkara tersebut tidak lagi dimasukkan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi pidana melainkan dimasukkan ke dalam perbuatan melawan hukum dengan pertanggungjawaban hukum yang bersifat keperdataan.
"Misalnya permintaan maaf, ganti rugi, atau kompensasi kepada yang dirugikan," ujar dia.
Rekomendasi berikutnya ialah memperbaiki rumusan Pasal 40 ayat (2b) dengan menekankan bahwa lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemutusan internet ("shutdown") adalah lembaga independen.
Hal itu, tambah dia, dibarengi dengan kewajiban memberikan informasi kepada publik mengenai alasan pemutusan jaringan internet.
Baca Juga: Diduga Miliki Keterangan Penting, Komnas HAM Bakal Periksa ART Irjen Ferdy Sambo
Baik mengenai lamanya waktu pemutusan, jangkauan wilayah yang diputus, dan dasar dan pertimbangan hukum dari kebijakan pemutusan.
Untuk itu, katanya, pembatasan akses internet harus diikuti mekanisme pertanggungjawaban yang jelas sebagai bagian dari kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negara.
"Kelima, moratorium penerapan pasal-pasal bermasalah dari UU ITE untuk mencegah pelanggaran HAM sampai RUU ITE disahkan," ujarnya.
Terakhir, ujar dia, Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi agar menjadi rujukan bagi pemerintah dan DPR dalam merumuskan kembali RUU ITE. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Ditolak Banyak RS, Muh Ikram Langsung Ditangani RSUD Daya: Kisah Anak Yatim Viral di Makassar
-
Begini Cara FEB Unhas Dorong Pelaku UMKM Maros Lebih Adaptif dan Tahan Banting
-
5 Ide Liburan Keluarga Anti Bosan Dekat Makassar Sambut Akhir Tahun
-
WNA Asal Filipina Menyamar Sebagai Warga Negara Indonesia di Palu
-
Pelindo Regional 4 Siap Hadapi Lonjakan Arus Penumpang, Kapal, dan Barang