Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Kamis, 03 Februari 2022 | 20:04 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual (freepik.com)

SuaraSulsel.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengingatkan media. Untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Saat memberitakan kasus kekerasan seksual.

Desakan ini menyusul masih adanya media yang menampilkan foto, profil penyintas kekerasan seksual serta menuliskan secara detail kronologi kekerasan tanpa konfirmasi dan persetujuan dari penyintas.

Berita ini muncul setelah seorang penyintas mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya. Saat bekerja sebagai jurnalis Geotimes pada 2015.

Meskipun berita tersebut akhirnya diturunkan dari media yang bersangkutan, namun jejak digital masih tetap tertinggal.

Baca Juga: Komnas Perempuan KecamDugaan Tindakan Kekerasan Seksual yang Dialami Mantan Reporter Geotimes

Hal ini menambah beban trauma penyintas, termasuk para penyintas lain yang mengalami kasus serupa.

Pemberitaan semacam itu hanya satu dari sekian banyak praktik jurnalisme yang tidak berperspektif korban kekerasan seksual.

Dalam rilis yang diterima, Kamis 3 Februari 2022, Nani Afrida Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal mengatakan, praktik lain yang sering AJI temui adalah penggunaan diksi pada kasus pemerkosaan seperti “menggagahi”, “meniduri”, “menggilir”, atau “menodai”.

Diksi semacam ini menghilangkan unsur kejahatan dan memperkuat stigma bahwa perempuan sebagai obyek seksual.

Media seharusnya tidak menjadikan kasus kekerasan seksual sebagai komoditas untuk mendulang klik bagi media. Tetapi mengedepankan peran untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Baca Juga: Mantan Manajer Dituduh Lakukan Pelecehan Seksual kepada Reporter Perempuan, Ini Kata Perusahaan

Kode Etik Jurnalistik secara umum telah mengatur bagaimana jurnalis seharusnya bekerja:

Pasal 2, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.”

Pasal 4, “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.

Pasal 5, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”

Pasal 8, “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Dalam konteks isu kekerasan seksual, empat pasal dalam KEJ itu jelas menekankan agar jurnalis tidak boleh memiliki niat secara sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Load More