Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Sabtu, 14 Agustus 2021 | 10:10 WIB
Ruang Publik Edisi #5 yang mengangkat tema “Perempuan dan Literasi Politik” yang dilaksanakan melalui zoom meeting dan live streaming YouTube Lembaga Studi Kebijakan Publik [SuaraSulsel.id / LSKP]

SuaraSulsel.id - Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) didukung Women’s Democracy Network dan International Republican Institute dan kerjasama dengan Kaukus Perempuan Sulawesi Selatan serta Kaukus Perempuan Politik Sulawesi Selatan melaksanakan Ruang Publik.

Ruang Publik Edisi #5 yang mengangkat tema “Perempuan dan Literasi Politik” yang dilaksanakan melalui zoom meeting dan live streaming YouTube Lembaga Studi Kebijakan Publik. 

Luna vidya selaku pemandu acara membuka bahasan dialog dengan perkenalan Ruang Publik, pemaparan profil narasumber dan dialog interaktif bersama narasumber yakni Andi Yuliani Paris selaku Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PAN.

Juga menghadirkan Sri Budi Eko Wardani sebagai Dosen Ilmu politik Universitas Indonesia dan Ni Loh Gusti Madewati sebagai Direktur Eksekutif Daya Riset Advokasi untuk perempuan dan anak di Indonesia. Serta, menyapa peserta yang terdiri dari personal dan berbagai komunitas kepemudaan, sosial, pendidikan dan tokoh publik.

Baca Juga: Relawan Perempuan untuk Pemulasaran Jenazah Covid-19 Minim, Ini Langkah Pemkab Bantul

Pada awal sesi pertama, Luna Vidya mempersilahkan narasumber untuk menyampaikan relevansi dari tema yang diangkat. Sebagai argumentasi pembuka Wardani menggambarkan situasi yang didapatkan dari hasil riset terkait tema yang diangkat.

“Saya melakukan riset tentang keterwakilan perempuan ditingkatan kabupaten/kota. Trend keterpilihan perempuan, harus dicatat bahwa Sebagian besar dari sekitar 530an kab/kota, hanya 26 kab/kota yang berada diatas kuota 30%, hanya di Minahasa dan Kalimantan Tengah yang diatas kisaran 40%. Hal ini menggambarkan bahwa Affirmative Action memiliki dua sisi yakni dukungan bagi perempuan dan politik elektoral,” ungkap Wardani.

Wardani juga menambahkan bahwa harusnya politik dipandang sebagai sesuatu yang transformasional yang lebih perspektif gender.

Wardani menyampaikan bahwa jumlah perempuan yang banyak di tataran anggota dewan hanya berupa kumpulan, belum menjadi kekuatan.

Wardani juga menyampaikan bahwa banyak gerakan perempuan pendukung calon legislatif yang dilatar belakangi oleh keputuhan praktis.

Baca Juga: Viral Cewek Ungkap Cowok Ideal Harus Punya Gaji Rp 25 Juta: Perempuan Harus Realistis

Madewanti dari DROUPADI ikut memberikan tanggapan terkait potret fenomena terkait dengan tema yang diangkat.

DROUPADI adalah salah satu lembaga yang bergerak di Jawa Barat yang mengakat isu Demokratisasi dan Pemberdayaan Perempuan. Berdasarkan refleksi DROUPADI banyak sekali gender issue, baik yang terjadi pada skala rumah tangga, lingkungan dan tempat kerja. Partai politik melamar perempuan untuk menjadi calon legilatif melalui jalur belakang yakni melalui suaminya.

"Hal ini merefleksikan bahwa perempuan belum mempunyai daya tarik karena kapasitasnya dan masih termarginalkan. Hal ini, bukan hanya karena perempuan tidak tahu tentang politik, tetapi begitu banyak impossible hand," ungkap Madewanti.

Madewanti juga menyampaikan bahwa ada 4 yang perlu menjadi dasar pengukuran literasi politik yakni akses yakni peluang bagi laki-laki dan perempuan untuk mengakses sumber daya pembangunan yang adil dan setara. Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan yang adil dan setara.

Selanjutnya, keikutsertaan laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan adil dan setara. Terakhir, manfaat yang dihasilkan harus dirasakan secara adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan.

Andi Yuliani Paris juga memberikan pandangan tentang isu yang diangkat yakni terkait keadaan perempuan dalam politik dan kondisinya selama berada di parlemen.

“Saya adalah wakil ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu. Dimana saat itu, kita mencantumkan pasal bahwa dalam penyelenggaraan perempuan 30% perempuan. Tetapi banyak anggapan yang meragukan kualitas perempuan,” ungkap Yuliani Paris, selaku inisiator Kaukus Perempuan Politik Sulsel.

Yuliani Paris menambahkan kisah pada saat menyusun Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menangah (RPJM). Pada waktu itu, Yuliani Paris memasukkan tentang Indeks Pembangunan Gender. Yuliani Paris mendorong organisasi sayap perempuan harus mampu melakukan Analisa terhadap sistem sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat.

Selain itu, penting adanya dorongan untuk penggunaan dana kepada partai politik dalam melakukan pendidikan politik yang berasal dari APBN, baik formal maupun non formal.

Pada Sesi Kedua, Luna Vidya mengajak narasumber untuk menyampaikan argumentasi secara lebih spesifik terkait hambatan dan tantangan terkait isu yang diangkat.

Wardani menyampaikan bahwa begitu banyak tantangan dan hambatan dan yang dialami oleh perempuan untuk terlibat aktif dalam politik, termasuk perempuan yang sudah berada dalam rana parlemen. Wardani menyampaikan bahwa selama ini politik dianggap sebagai power yakni merebut melalui praktek suap, korupsi dan cara lainnya.

Anggapan seperti ini harusnya diluruskan melalui pendidikan politik. Wardani menganggap bahwa program pendidikan politik di Kebangpol itu ada, tetapi konten pembahasannya tidak ada jaminan ketercapaian pemenuhan hak perempuan.

Madewanti menyampaikan bahwa Analisa relasi kuasa menjadi seuatu yang harus dilakukan, terkait dengan kelas, status sosial dan status ekonomi yang dimiliki oleh laki-laki atau perempuan. Bias gender dan bias kelas yang ada di parlemen menutup ruang untuk perempuan dapat mengembangkan diri.

Madewanti juga mengangkat tentang patriarki yang terinternalisasi bahwa perempuan yang ada di parlemen yang latar belakangnya dari status sosial yang tinggi, tidak menggap masalah yang ada di perempuan pinggiran itu menjadi masalah bersama.

Kesadaran kritik sesama perempuan untuk memandang permasalahan perempuan masih sangat kurang. Selain itu, hadir juga prosesn victim blaming terhadap perempuan. Ditambah lagi, media kampanye tidak pernah mengangkat peran serta calon legilatif terhadap perempuan.

Pada sesi terakhir, Luna Vidya meminta pandangan closing statemen dan pesan yang harapkan dari ketiga narasumber terkait tema yang diangkat.

Andi Yuliani Paris menyampaikan bahwa interaksi sosial di masyarakat menjadi sesuatu yang paling penting bagi wakil rakyat. Lembaga survei penting untuk mengubah anggapan keterpilihan perempuan bukan hanya terkait elektabilitas, harusnya dari rekam jejak nyata.

“Masyarakat jangan hanya sekedar melihat ketenaran dari calon dan gelar yang dimiliki. Saya berupaya untuk membangun pendidikan politik bagi masyarakat, bahwa calon rakyat tidak memberikan uang, tetapi memberikan pelayanan kepada masyarakat.”, ungkap Yuliani Paris dengan sangat tegas dan luas kepada masyarakat.

Madewanti mengajak peserta untuk melakukan refleksi bersama untuk tidak apolitis dan tidak alergi terhadap partai politik.

“Partai politik sebagai kendaraan politik, perlu melakukan perbaikan internal partai dan menemukan srikandi baru seperti Ibu Andi Yuliani. Sosialisasi dan diseminasi yang dilakukan oleh partai politik harus dipublikasikan. Pemanfaatan media untuk kampanye yang dapat menjangkau masyarakat lebih luas juga harus dioptimalkan,” ungkap Madewanti.

Madewanti menganggap bahwa peremopuan yang ada dalam parlemen harus mendapatkan support dan asupan yang data yang lebih untuk dapat melihat kondisi perempuan secara menyeluruh sampai dengan yang ada di akar rumput.

Harusnya ada sinergitas antara lembaga pemerintah dan Civil Society Organization (CSO). Madewanti memberikan catatan paling besar untuk bersama meningkatkan representasi kepentingan perempuan. Misalnya saja, rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang dianggap sudah sangat jelas ruhnya untuk melindungi korban kekerasan seksual.

Closing statemen yang terakhir dari Wardani yang mengatakan bahwa gejala kekerabatan laki-laki dan perempuan dalam DPR itu ada. Tetapi, perempuan sangat signifikan karena oligarki yang hadir itu sangat tinggi.

“Sosialisasi politik yang hadir dari dalam keluarga dan umur yang sangat dini itu hadir dalam politik. Problematiknya yang harus diakui bahwa mereka eksis dan ada, tetapi tantangannya bagaimana mengajak mereka untuk mengajak terlibat dalam gerakan memperjuangkan hak-hak perempuan," ajakan dari Wardani untuk mengoptimalkan keterwakilan perempuan.

Wardani menyampaikan bahwa keputusan perempuan masuk dunia politik adalah keputusan otonom yang harusnya diberikan apreasis dan tentunya harus melakukan pendampingan dan negara perlu membiayai hal itu. Serta, tanggungjawab pengoptimalan perempuan ada pada negara dan didukung oleh sinergitas bersama.

Load More