SuaraSulsel.id - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) secara tegas menolak UU Cipta Kerja yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
KORAL terdiri dari IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA, WALHI, Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW), dan Yayasan Terangi.
Penolakan KORAL disampaikan karena UU Cipta Kerja dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Substansinya dapat mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan.
Sebagai negara demokrasi, partisipasi publik sangat penting untuk menjamin undang-undang disusun demi kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu.
Baca Juga: Uang Pesangon hingga UMP Dihapus di UU Ciptaker, Azis Syamsuddin: Hoaks!
Hak masyarakat untuk dilibatkan dan mendapatkan informasi mengenai kebijakan publik dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. UU Nomor 15/2019.
Akan tetapi, pembentukan undang-undang ini dilakukan secara tergesa-gesa dengan partisipasi publik yang minim. Baik di tahap penyusunan maupun pembahasan.
"Padahal, undang-undang ini mengatur banyak sekali aspek yang akan mempengaruhi kehidupan banyak orang," kata Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia dalam rilisnya, Rabu (7/10/2020).
Penyusunan Undang-Undang dengan mengabaikan prinsip-prinsip tersebut membuat UU Cipta Kerja (Omnibus Law) memuat ketentuan-ketentuan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor, salah satunya kelautan.
Kerugian yang dapat muncul pada sektor kelautan diuraikan dalam beberapa alasan.
KORAL merumuskan tujuh poin penting yang yang menyebabkan UU Cipta Kerja berdampak negatif pada sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.
Baca Juga: Mengkapitalisasi Pendidikan, Serikat Guru Tolak UU Cipta Kerja
Pertama, sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. Serta melemahkan esensi otonomi daerah.
Di sektor perikanan contohnya, kewenangan untuk menetapkan potensi perikanan yang sebelumnya berada pada Menteri berpindah ke pemerintah pusat yang dipimpin oleh
presiden.
Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan perikanan.
RUU Cipta Kerja jelas tidak memberikan kepastian siapa atau lembaga apa (dalam ranah Pemerintah Pusat) yang akan memegang kewenangan ini.
Pemindahan kewenangan perizinan juga dapat mengurangi fungsi kontrol yang mencegah terjadinya eksploitasi berlebih.
Sentralisasi kewenangan perizinan ke Pemerintah Pusat juga akan mempersulit aksesibilitas pelaku usaha di daerah yang sebelumnya dapat mengurus perizinan di daerah masing-masing.
Selain itu, jika tidak didukung dengan good governance, kewenangan yang sangat besar di Pemerintah Pusat berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Kedua, Perizinan disederhanakan untuk kepentingan investor dan pelaku usaha besar.
Simplifikasi perizinan yang diatur oleh RUU Cipta Kerja dapat mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem.
Hingga saat ini, pemerintah telah menetapkan 15 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) demi mendukung investasi, dan bila dipadukan dengan RUU Cipta Kerja, kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang) dimana jutaan nelayan menggantungkan hidupnya menjadi ancaman nyata.
Perubahan membuat perizinan berusaha hanya diwajibkan untuk usaha tertentu, yakni yang dianggap berdampak tinggi.
Padahal, penentuan usaha apa saja yang dinilai berdampak tinggi tersebut itu sendiri masih dipertanyakan keakuratannya.
Selanjutnya, perubahan yang tidak kalah merugikan adalah beralihnya izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Berpotensi mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan.
Perubahan lainnya adalah izin lingkungan yang diubah menjadi persetujuan lingkungan.
Diubahnya izin menjadi persetujuan tentunya akan mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan.
Ketiga, terdapat indikasi bahwa operasi kapal asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pasca-RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja mempertahankan ketentuan mengenai kapal asing yang ada pada UU Perikanan, tetapi menghapuskan kewajiban penggunaan ABK Indonesia sebanyak 70% per kapal.
Padahal, sumber daya perikanan di Indonesia seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai amanat dari Pasal 33 (3) UUD 1945.
Keempat, Perubahan sistem perizinan menjadi risk-based approach (pendekatan berbasis risiko) tidak didukung dengan penentuan kelembagaan dan metodologi yang jelas dan kredibel.
Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga yang dapat dianggap siap dan berpengalaman untuk melakukan penentuan risiko secara holistik.
Terlebih lagi, database di Indonesia belum dapat mendukung efektivitas risk-based approach.
Sehingga, penentuan risiko dikhawatirkan dapat bersifat subjektif. Dampaknya, kegiatan usaha yang tidak dianggap berisiko tinggi tidak diwajibkan untuk memiliki izin.
Jika penentuan risiko tidak akurat, tentunya dapat berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia.
Kelima, penghapusan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang mereduksi peran sains dalam pertimbangan perumusan kebijakan.
Komnas KAJISKAN merupakan lembaga independen yang berwenang mengkaji potensi perikanan di Indonesia secara ilmiah.
Tanpa lembaga tersebut, penentuan potensi dapat diintervensi oleh kepentingan politik dan hasil kajian tidak kredibel.
Akibatnya, pengelolaan dan eksploitasi perikanan berlebih akan semakin tidak terkendali.
Padahal saat ini pemerintah melalui Kepmen-KP 50/2017 menyatakan bahwa sebagian perikanan utama Indonesia telah mengalami overfishing.
Keenam, Perubahan definisi nelayan kecil yang tidak lagi membatasi ukuran kapal dapat mengurangi esensi affirmative action terhadap nelayan kecil.
Dengan definisi yang tidak jelas, nelayan-nelayan yang sekarang tidak tergolong sebagai nelayan kecil nantinya bisa mencuri keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil, seperti subsidi nelayan kecil, dan area tangkap dekat pantai).
Lalu, pada akhirnya penghapusan ukuran kapal sebagai indikator definisi nelayan kecil menciptakan persaingan yang tidak adil.
Ketujuh, RUU Cipta Kerja meminimalisir partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan pemanfaatan pesisir.
Pelibatan masyarakat pada tahap penyusunan AMDAL dibatasi, dan Komisi Penilai AMDAL yang bersifat multi-stakeholder dihapuskan.
Implikasinya, pemanfaatan wilayah pesisir berpotensi mengesampingkan pertimbangan nasib masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem pesisir.
Berlakunya RUU Cipta Kerja membuka peluang eksploitasi berlebih sumber daya kelautan. Akhirnya akan membuat nelayan kecil dan tradisional merugi dan terpinggirkan serta mempercepat kerusakan ekosistem pesisir dan kekayaan laut.
Berita Terkait
-
Diusulkan Jadi Menu Gratis, Ikan Kaleng Ternyata Butuh Perhatian Khusus Menurut Ahli Gizi
-
MK Ubah UU Cipta Kerja: Apa Kabar Gaji Karyawan?
-
Pertimbangan Efisiensi, Prabowo Bubarkan Satgas UU Cipta Kerja
-
Usai Adanya Putusan MK, DPR Kumpulkan Menkum, Menaker hingga Buruh Pastikan PP 51 Sudah Tak Berlaku
-
Respons Putusan MK soal UU Cipta Kerja, Prabowo Panggil Menteri-menteri ke Istana
Tag
Terpopuler
- Pernampakan Mobil Mewah Milik Ahmad Luthfi yang Dikendarai Vanessa Nabila, Pajaknya Tak Dibayar?
- Jabatan Prestisius Rolly Ade Charles, Diduga Ikut Ivan Sugianto Paksa Anak SMA Menggonggong
- Pengalaman Mengejutkan Suporter Jepang Awayday ke SUGBK: Indonesia Negara yang...
- Ditemui Ahmad Sahroni, Begini Penampakan Lesu Ivan Sugianto di Polrestabes Surabaya
- Pesan Terakhir Nurina Mulkiwati Istri Ahmad Luthfi, Kini Suami Diisukan Punya Simpanan Selebgram
Pilihan
-
Viral! Pemotor 'Bersenjata' di Gunungkidul Dikira Klitih, Ternyata Musuhnya Ulat Jati
-
Di Tengah Protes Kenaikan PPN 12%, Sri Mulyani Justru Mau Ampuni Para Pengemplang Pajak Lewat Tax Amnesty Jilid III
-
Tax Amnesty Bergulir Lagi, Para Pengemplang Pajak Bakal Diampuni Prabowo
-
Rupiah Lagi-lagi Perkasa Imbas Yield Obligasi AS Anjlok
-
Harga Emas Antam Naik Drastis, Hampir Tembus Rp 1,5 Juta/Gram
Terkini
-
Bye-bye Stadion Mattoanging, Welcome Stadion Sudiang 2025!
-
Polri Tegaskan Netralitas di Pilkada 2024, Ancam Tindak Tegas Anggota yang Berpolitik Praktis
-
Jumlah Pemilih, TPS, dan Titik Rawan Pilkada Sulsel 2024
-
Timses Calon Bupati Luwu Timur Terjaring Razia Narkoba di Makassar
-
Siswa Tuna Rungu di Makassar Diduga Jadi Korban Pelecehan Guru