Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 22 Juli 2022 | 18:33 WIB
Reynaldi dan kostum badutnya saat ditemui di SPBU Jalan Perintis Kemerdekaan. (SUARASULSEL.ID/Lorensia Clara Tambing)

SuaraSulsel.id - Pengamen badut kini menjadi fenomena baru di Kota Makassar. Mereka bahkan bisa ditemui di sepanjang lampu merah dan SPBU, di Jalan Perintis Kemerdekaan.

Rata-rata dari mereka masih berusia anak-anak dan remaja. Mereka menjajakan jasa hiburan untuk para pengendara di balik kostum tebal yang lucu.

Salah satunya adalah Reynaldi. Remaja berusia 17 tahun itu terlihat lincah bergerak di balik kostum badut berwarna kuning.

Pria asal Samarinda, Kalimantan Timur ini memang sengaja datang ke Kota Makassar untuk mengadu nasib supaya lebih baik. Pilihan menjadi cosplayer Winni The Poh pun harus dilakukan agar ia bisa menafkahi hidup.

"Kalau jadi badut jalanan sudah sekitar tiga tahun. Sejak SMP, mba," ujarnya saat ditemui SuaraSulsel.id di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar, Kamis, 21 Juli 2022.

Reynaldi bercerita, ia terpaksa tidak melanjutkan sekolah ke SMA usai lulus SMP. Keterbatasan biaya pendidikan jadi masalahnya.

Ia mengaku harus memutar otak untuk mendapatkan uang demi biaya hidup. Ia tidak mau menjadi beban bagi ke dua orang tuanya yang juga tak punya pekerjaan tetap.

"Saya tidak mau jadi beban bagi orang tua. Mereka juga tidak ada pekerjaan tetap," ungkapnya.

Setiap hari, Reynadi melihat tetangganya yang lewat di depan rumah menjadi badut jalanan. Ternyata penghasilan jadi pengamen badut lumayan.

Reynaldi lalu mengaku tertarik dan mulai ikut-ikutan jadi badut.

"Pertama kali jadi badut itu panas, gerah. Kan tebal ini (bonekanya). Tapi sudah terbiasa," ucapnya.

Awalnya, Reynaldi hanya menyewa boneka badut untuk berdiri di lampu merah. Belakangan, ia bisa membeli boneka tebal itu dengan tabungannya sendiri.

"Dulu bonekanya saya sewa Rp35 ribu dua jam. Saya berhasil kumpul uang dan beli sendiri. Harganya Rp3 juta," ungkapnya.

Reynaldi lalu memberanikan diri merantau ke Makassar. Informasi dari temannya, belum ada badut "yang beroperasi" di sini.

"Saya ke sini sama satu orang teman naik kapal laut. Kita kos di belakang (kampus) Dipanegara," ujarnya.

Setiap hari Reynaldi harus berjibaku menggunakan kostum badut yang serba tebal. Dia berbagi tugas dengan temannya.

"Siang hari teman saya, malamnya saya. Sampai jam 11 malam," ungkapnya.

Dalam sehari, ia bisa mendapat uang Rp 150 ribu sekali mengamen. Itu pun jika posisinya ramai dan banyak dermawan yang memberinya uang.

Beda cerita saat sepi. Dalam sehari, ia paling banyak mengumpulkan uang Rp 50 ribu. Uang itu pun harus mereka sisihkan untuk membayar biaya indekos.

"Saya jalan kaki dari SPBU ke SPBU di sepanjang Jalan Perintis. Kadang singgah di depan tempat perbelanjaan," ujarnya.

Reynaldi berharap bisa mencari uang dengan aman dan nyaman di kota ini. Tidak ada penertiban oleh petugas seperti di daerah lain.

"Sejauh ini belum ada tapi semoga tidak ada, mba. Kasihan kalau harus lari dikejar-kejar pakai boneka ini," harapnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More