Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Jum'at, 24 September 2021 | 06:00 WIB
Dosen UIN Alauddin Ramsiah Tasruddin kembali menjalani pemeriksaan di Ruang Kanit Tipidkor, Polres Gowa, Kamis 23 September 2021 [SuaraSulsel.id / Muhammad Aidil]

SuaraSulsel.id - Ramsiah Tasruddin kembali menjalani pemeriksaan di Ruang Kanit Tipidkor, Polres Gowa. Untuk memberikan keterangan tambahan terkait laporan yang dilayangkan oleh Nursyamsyiah. Mantan Wakil Dekan III Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin.

Perseteruan antara Ramsiah dengan Nursyamsiah terjadi sejak bulan Mei 2017. Kala itu, Ramsiah masih menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin.

Ramsiah dilaporkan ke polisi karena mengkritik penghentian dan penutupan secara paksa aktivitas siaran radio Syiar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Alauddin. Diduga dilakukan oleh Nursyamsiah.

Ramsiah mengatakan dalam persoalan ini sejatinya dirinya sudah pernah mencoba untuk bertemu dengan pimpinan UIN Alauddin Makassar. Agar persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan cara baik-baik. Tetapi, pimpinan kampus ternyata tidak melakukan proses mediasi antara Ramsiah dan Nursyamsiah.

Baca Juga: WhatsApp Uji Fitur Baru Melaporkan Pesan di Android dan iOS

"Awalnya kami diterima sama Pak Rektor tetapi diterima saja, tidak dimediasi ya. Antara pelapor dan saya sendiri tidak ada upaya mediasi. Jadi stop saja di situ. Hasilnya, dimaafkan tapi menurut beliau (pelapor) hukum tetap jalan," kata Ramsiah saat ditemui di Polres Gowa, Kamis 23 September 2021.

Menurut Ramsiah, Nursyamsiah melaporkan dirinya ke polisi karena mengetahui bahwa Ramsiah melakukan kritik terkait persoalan penghentian dan penutupan secara paksa aktivitas siaran Radio Syiar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin Makassar yang dilakukan oleh Nursyamsiah. Selaku orang yang tidak memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) untuk menutup Radio Syiar.

Padahal, proses kritikan itu disebut berlangsung melalui sebuah grup media sosial WhatsApp bernama "Save FDK UIN Alauddin". Yang memang dikhususkan untuk membahas semua persoalan internal Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin.

Jumlah peserta yang hadir dalam grup WhatsApp tersebut diketahui terdapat 30 orang yang semuanya merupakan dosen di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin, Makassar.

Selain itu, Nursyamsiah selaku orang yang dikritik waktu itu adalah Wakil Dekan III Fakultas Dakwah UIN Alauddin Makassar. Semua kritikan yang dilayangkan Ramsiah dalam grup tersebut diklaim tidak pernah menyinggung persoalan pribadi Nursyamsiah.

Baca Juga: Cara Cek KTP Lewat WhatsApp, SMS, Media Sosial dan Situs Pemerintah

Melainkan hanya sebatas persoalan penghentian dan penutupan secara paksa aktivitas siaran Radio Syiar yang selama ini digunakan sejumlah mahasiswa FDK UIN Makassar. Sebagai laboratorium pembelajaran.

"Yang dilaporkan soal dialog kami di WhatsApp. Isi percakapan?, kita membicarakan tentang sikap pelapor yang menutup paksa radio syiar. Dan kita semua 30 dosen berbicara, jadi wajar-wajar saja. Semua terlibat di dalam, tidak ada menyinggung," kata Ramsiah.

"Ibu Tanti sebagai Direktur Radio Syiar yang memulai percakapan dari awal dan mengatakan bahwa Innalillahi wainnailaihi rajiun bahwa radio kami sekarang terpaksa ditutup. Selama ditutup, anak-anak tidak bisa lagi beroperasi, karena itu kan menjadi salah satu laboratorium mahasiswa," tambah Ramsiah.

Akibat pelaporan itu, kondisi psikis Ramsiah menjadi tertekan. Sebab dirinya yang dilaporkan hanya karena mengkritik pimpinan kampus malah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Gowa yang menangani kasus itu.

Belum lagi, promosi jabatan sebagai Wakil Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin, Makassar terhenti akibat pelaporan kasus tersebut.

"Pastilah secara psikologis saya tertekan karena namanya juga tersangka. Menyandang status tersangka itu kan banyak hal harus saya jalani. Termasuk juga, mohon maaf promosi saya menjadi Wadek juga terhambat," ungkap Ramsiah.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Abdul Aziz Dumpa selaku kuasa hukum Ramsiah menjelaskan kehadiran kliennya di kantor polisi karena mendapatkan panggilan dari penyidik Polres Gowa. Untuk memberikan keterangan tambahan. Setelah dua tahun lamanya Ramsiah memberikan keterangan di Polres Gowa.

"Hari ini pemeriksaan tambahan, tadi temanya hanya memperbanyak beberapa hal soal di mana Ibu Ramsiah pada saat itu? Kemudian handphone yang digunakan. Tapi kan group atau handphone itu semua karena sudah lama, jadi sudah tidak ada lagi," jelas Aziz.

Aziz mengungkapkan dalam pemeriksaan ini, dirinya juga memberikan informasi bahwa saat ini telah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kominfo, Kejaksaan, dan Polri terkait dengan pedoman penerapan pasal tertentu dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Termasuk pasal yang disangka penyidik Polres Gowa terhadap Ramsiah.

Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut, kata dia, sudah jelas bila konten disebarkan melalui grup tertutup dan terbatas seperti grup keluarga, grup profesi, grup kampus, dan grup institusi pendidikan. Maka tidak termasuk penghinaan dan pencemaran nama baik.

"Termasuk pasal yang dikenakan ibu Ramsiah, yaitu pasal 27 ayat 3 soal penghinaan dan pencemaran nama baik," ungkap Aziz.

Perkara ini sudah berlangsung sejak Mei 2017 lalu. Menurut Aziz, dalam perjalanan kasus ini sudah ada empat Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal ini terjadi karena pihak jaksa terus mengembalikan berkas perkara yang dilimpahkan penyidik Polres Gowa, akibat tidak mampu melengkapi bukti yang diminta.

"Jadi jumlah totalnya ada empat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam perkara ini. Jadi SPDP pertama dikembalikan, disuruh lengkapi. Tidak mampu lengkapi habis waktunya, berkasnya dikembalikan oleh jaksa. Dibikin SPDP baru dan begitu seterusnya sampai empat kali ada SPDP baru," beber Aziz.

Sebab itu, Aziz menilai dalam penanganan kasus yang dialami oleh kliennya tersebut penyidik terkesan cenderung memaksakan agar kasus itu tetap dapat diproses.

"Menurut kami memang pasca SKB ini mempertegas sebetulnya bahwa sejak awal kasus ini memang dipaksakan. Karena jaksa selalu menolak dan minta dilengkapi bukti-buktinya, kemudian polisi tidak mampu lengkapi bukti-buktinya. Yang ada dibuka lagi dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan," tutur Aziz.

Dalam penanganan kasus ini, Aziz meminta penyidik dapat bekerja secara profesional dengan menerapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang telah ditandatangani oleh Kapolri.

"Karena kalau tidak, itu artinya penyidik bertentangan dengan Kapolri dan komitmen dari Kapolri. Mudah-mudahan SKB itu bisa diterapkan dalam perkara ini," tegas Aziz.

Mantan Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Nursyamsyiah di Ruang Kanit Tipidkor Polres Gowa, Kamis 23 September 2021 [SuaraSulsel.id / Muhammad Aidil]

Kampus Diminta Aktif Lakukan Mediasi

Aziz mengemukakan sejak awal dirinya telah menyampaikan bahwa kasus yang dialami oleh Ramsiah dapat diselesaikan dengan cara mediasi. Baik dari pihak kepolisian hingga mendorong pihak internal Kampus UIN Alauddin Makassar. Untuk dapat mengambil alih persoalan itu agar tidak keluar dari lingkup kampus.

"Tapi yang membuat kami kecewa di kampus juga tidak punya respon yang kita harapkan. Padahal kan kalau institusi pendidikan saja tidak menjamin kebebasan berekspresi dan akademik? Bagaimana kita bisa bicara di luar dari itu. Persoalanya upaya mediasi kami semua mental. Mental di kepolisian, mental di FDK dan internal UIN Alauddin. Alasannya? kami juga tidak tahu pasti karena kami kan hanya meminta saja, tolong dimediasi. Tolong diselesaikan tapi toh tidak direspon dengan baik. Kayak membiarkan Ibu Ramsiah sebagai dosen yang harusnya dilindungi pihak kampus dibiarkan berjuang menghadapi proses hukumnya," papar Aziz.

Disisi lain, Nursyamsiah mengaku bahwa dirinya memang mengunci Radio Syiar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Alaudddin Makassar dengan menyuruh seseorang.

"Kan bisa saya bisa dipanggil baik-baik. Bilang Bu Wadek kenapa kita suruh kunci itu lab. Bukan ditutup nah, disuruh kunci. Saya Wakil Dekan Tiga yang kena batunya karena saya dianggap melanggar. Makanya saya heran sama Pak Dekan kenapa tidak bicara baik-baik sama saya," ujar Nursyamsiah.

Nursyamsiah menjelaskan bahwa dirinya melaporkan Ramsiah ke polisi berdasarkan bukti percakapan Ramsiah yang ia dapatkan terkait tentang penghentian dan penutupan secara paksa aktivitas Radio Syiar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

Penyebabnya, karena Nursyamsiah menilai apa yang dilakukan Ramsiah waktu itu bukanlah tindakan bebas berekspresi tetapi menyerang. Memfitnah hingga menghina kehormatan Nursyamsiah selaku pimpinan kampus.

"Berdasarkan dengan ini yang saya temukan. Jadi kalau bebas berekspresi dengan menyerang, menfitnah, menghina dan menyerang kehormatan seseorang. Saya bisa bedakan. Saya kira kalau berekspresi biasa-biasa saja, tapi kalau sudah menyebut nama suami saya, pribadi saya. Sudah bukan bebas berekspresi namanya," jelas Nursyamsiah.

Dalam persoalan ini, Nursyamsiah tidak pernah dimediasi oleh Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof Hamdan Juhannis agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cara baik-baik.

"Tidak pernah. Dia (Ramsiah) yang pernah menghadap sama Pak Rektor Prof Hamdan Juhannis. Tapi tidak pernah saya dipanggil. Tidak ada proses mediasi di rektorat, sejak kapan?. Saya tidak berharap ada proses mediasi. Untuk apa, saya sudah berusaha untuk keras bagaimana caranya tidak ada masalah. Saya yang rasakan akibatnya dipermalukan," terang Nursyamsiah.

Nursyamsiah hanya pernah dipertemukan dengan Ramsiah oleh Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin, Makassar untuk dimediasi. Tetapi, jalan perdamaian antara Nursyamsiah dengan Ramsiah menemui jalan buntu.

"Kalau dia (Ramsiah) minta maaf urusannya dia. Tapi, bisa dia bersihkan nama saya ini. Pernah dipertemukan dengan Pak Dekan. Tapi saya tidak mau damai. Saya bilang bisa damai tapi bersihkan dulu nama baikku. Dua kali ketemu sama Pak Dekan. Tapi kan tidak ada jaminan kalau tidak berbuat lagi seperti itu. Tidak ada tandatangan atau persetujuan. Damai itu biasa tapi proses hukum tetap berjalan," katanya.

Kontributor : Muhammad Aidil

Load More