Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 17 Agustus 2021 | 06:00 WIB
Pasukan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi di masa penjajahan Belanda [SuaraSulsel.id / Arsip Badan Perpustakaan Nasional]

Abubakar memilih meninggalkan posisinya dan melawan bersama rakyat Massenrempulu. Ia kemudian membentuk organisasi bernama Kelaskaran Pemuda Nasional Indonesia (KPNI) di Enrekang pada tahun 1945.

Tujuan utama kelaskaran ini adalah untuk mempersatukan kekuatan para pemuda Massenrempulu untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada tahun 1946, Abubakar juga tergabung dalam Badan Pembentuk Rakyat Indonesia (BP-RI) dan Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Organisasi pemuda ini salah satu yang ditakuti oleh Belanda.

"Saat itu rakyat masih trauma dengan Belanda. Dibentuklah organisasi pemuda itu," ujar Ricky.

Baca Juga: Gempa Bumi Guncang Enrekang, Ini Penyebabnya

Kendati Indonesia sudah menyatakan diri merdeka, Belanda kala itu masih bercokol di Indonesia. Gerakan Abubakar bersama pasukannya membuat tentara KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau Tentara Hindia-Belanda geram.

Pada 13 Maret 1947, dini hari, Abu Bakar bersama pasukannya sedang berada di Salu Wajo. Tanpa disadari, ternyata pasukan KNIL membuntuti kelompoknya.

Mereka dikabarkan tengah mandi saat KNIL menyerang di tengah kegelapan. Tanpa persiapan, mereka kemudian lari kalang kabut berpencar.

Akibat serbuan itu, Abubakar tertembak di bagian paha. Ia dan satu orang anggotanya tertangkap dan dibawa ke markas besar KNIL di Enrekang.

Oleh KNIL, pasukan Abubakar yang tertangkap kemudian diminta untuk bertemu dengan komandannya. Namun apa yang ditemui mereka ketika sampai di Pasar Enrekang. Kepala Kapten Abubakar sudah terpenggal.

Baca Juga: Keju dari Air Susu Kerbau, Begini Cara Mudah Membuatnya

Potongan kepala tanpa badan itu dipajang di bayonet yang terletak di pintu gerbang di pasar Enrekang. Pasukan Abubakar yang ikut tertangkap bahkan dipaksa satu per satu untuk mencium potongan kepala tersebut.

Tokoh Adat Massenrempulu Jupri juga mengatakan sebelum Abubakar Lambogo dibunuh, ia terlebih dahulu disiksa di luar batas perikemanusiaan. Padahal di tempat lain, jika yang tertangkap adalah pimpinan, maka mereka akan diberikan perlindungan dan diberikan perawatan.

"Namun hal ini justru berbanding terbalik dengan yang dialami komandan Abubakar Lambogo," ujar Jupri.

Menurutnya, bangkitnya rakyat Massenrempulu dalam melakukan perlawanan terhadap kedatangan kembali bangsa Belanda dilatar belakangi oleh beberapa hal. Salah satunya karena penderitaan yang dialami pada masa penjajahan, sehingga tidak menginginkan hal tersebut kembali terulang.

Konsep siri atau budaya malu yang dipahami rakyat Massenrempulu menjadi pendorong tersendiri untuk mengusir Belanda. Hal ini karena dijajah sama dengan menginjak-injak harga diri sebagai bangsa.

Di samping itu, Abubakar Lambogo sebagai pimpinan kelaskaran menjadi semangat tersendiri. Sebagai pimpinan, ia sangat dihormati dan dihargai Perintah yang diberikan akan dijunjung tinggi oleh masyarakat sekalipun nyawa menjadi taruhannya.

Load More